SERIAL ‘MASA SMA MASA BODO’ DIMANA ADA HUJAN, DISANA ADA BERKAH. SIAPKAN DAUN PISANG SETELAH HUJAN.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

 

Oleh : Deddy Azwar

     Pagi itu langit terlihat menghitam dan memekat. Segerombolan awan hitam tadi kemudian berlari berarak, berkelana, menggayut di angkasa lepas. Lebih mirip kapan yang kehita-hitaman dihantam uraian debu. Bisa juga seperti paru-paru yang menggelap setelah dihantam kandungan nikotin dari asap perokok dari tahun ke tahun.

Perlahan bergerak menutupi langit sedikit demi sedikit. Tadinya suasana cerah benderah, terang benderang berubah menjadi mendung mendengung, gelap gemerlap .  Hembusan angin nan sepoy lembut menerpa siapa saja tanpa pandang bulu. Bulunya merk apa dan jenis apa pasti kena. (Emang bulu jins?) Semilir angin sepoy nan amboy malah kerap membuat gugur beberapa helai dedaunan kering pada sebuah dahan nan lapuk. Persis keadaannya ketika gerhana matahari datang menjelang, suasana berubah mirip petang.

Cuaca mendung dan pertanda sebentar lagi hujan akan mengguyur. Itulah kesimpulannya.

Titik dan bulir hujan mulai perlahan jatuh. Memeluk tanah sehingga membuat segalanya basah dan kuyub. Tanah yang berdebupun tampak seperti mengeluarkan asap ketika titik air menerpanya.

Pak Adaptasi Sutan Bagindo, pagi itu, tengah menyeruput kopi susu buatan istrinya, Samsidar Markonah. Kemudian dia melahap beberapa lembar roti tawar yang telah diolesi selai srikaya. Tidak terasa dia telah menyikat hampir semua roti yang tersaji. Menyisakan empat lembar roti tawar di piring, di atas meja kecil berenda. Tangannya memegang lembaran koran pagi. Saking asiknya wajahnya ketutupan koran tersebut. Sementara dia sibuk memelototi koran, istrinya yang setia itu, kebetulan hanyakan mengenakan piyama, tetap sibuk saja mengolesi roti yang tersisa dengan mentega, selai buah nenas dimixed butiran kismis rasa coklat berwarna warni. Sadap betul!

Meva, anak sulung mereka yang sedang beranjak dewasa, masih pelajar kelas satu SMA, baru saja menyelesaikan sarapan, bangkit berdiri meraih tas hikingnya bergambar snoopy, sebelum menyorongkan kursi ke bawah meja. Lalu dia mendaratkan pantatnya ke bantal sofa yang empuk gepuk dengan posisi orang santai sedunia. Meva Sumaiyah mulai menjalin tali sepatu ketsnya berwarna putih bersih. Ya tali sepatunya lucu dan unik. Warna warni!

“Onde mande Tuesday, Uda ini bagaimana kho? Sudah jam segini masih dempet saja dengan koran. Sepertinya tidak bisa dipisahkan ya. Coba Uda, lihatlah ke luar jendela sana ho. Kayaknya mau hujan lebat nih!” ujar istrinya seraya melongokkan kepada ke jendela berkaca nako. Dalam keseharian istrinya kerap memanggil suaminya dengan sebutan ‘Uda’, karena kebetulan mereka berasal dari suku Minangkabau.

“Iyo Ayah. Cepatlah sikit dong. Meva mau menebeng sampai sekolah yo?”rayu Meva dengan manja. Matanya mengerdip ke ayahnya. Dibalas ayahnya dengan memonyongkan mulutnya.

“Ayah, jadi jelek kalau begitu deh.”

“Sabanta lai nak. Berita metropolitan lagi seru,”ucap Pak Adaptasi Sutan Bagindo, tetap tidak melepaskan pandangannya dari koran pagi itu. Dia terus berkosentrasi membaca koran baris demi baris, kolom demi kolom, lembar demi lembar. Seakan tidak boelh ketinggalan berita barang sekalimatpun. Memang, sebagai kepala sekolah, dia ogah buta berita dan informasi. Terutama yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Dia tidak sudi tersaingi dengan guru-guru yang lain. Di kantor sekolah, para guru mempunyai kebiasaan menyombongkan diri tentang sebuah informasi. Seakan-akan dia paling jago menguasai informasi. Mereka suka mengklaim bahwa diri mereka tidak kuper dan selalu update berita yang menjadi topik utama dan berita hangat, sehangat pisang goreng. Ya begitulah. Mereka juga berebutan ingin mendapat pujian dari Pak Bagindo.

“Hebat hebat kalian. Ditengah terpaan sinetron teve dan jadwal mengajar kalian yang padat masih sempat membaca berita. Saya senang mendengarnya. Saya salut! Tugas guru memang mengajar karena untuk saat ini ilmu pengetahuan kita lebih banyak daripada murid. Makanya kita menyampaikannya agar mereka mengetahui dan pintar. Dan perlu diingat dan diketahui oleh guru juga jangan sampai ketinggalan berita yang yang terkini. Jangan sampai kita ditertawakan oleh murid-murid karena minim informasi. Kalau sudah begitu lebih baik kita berganti profesi menjadi pelawak saja.”

“Onde mande, Uda. Sebenarnya berita apa yang dibaca nih sehingga membuatmu serius begitu ha. Matanya sampai melotot begitu.”tanya istrinya agak kesal dan penasaran dari tadi dicuwekin melulu.

“Ini ni Bu. Si Demi Moore, bininya Bruce Jeep Wills, bikin heboh dan kontroversi. Dia tampil tanpa busana di majalah Vanity Vair. Apa nda gilo tuh. Padahal perutnya lagi kembung alias hamil.”

Istrinya bertambah kesal rupanya. “Onde mande, kirain baca berita pendidikan, tidak tahunya berita begituan. Ayah ayah… Sudah mulai genit pula ha. Ayo, kemarikan korannya. Suadh tua bangka juga. Bisa tidak putus-putus nanti. Atau bacanya di kantior saja setelah habis makan siang, Ayah. Seperti tidak ada waktu luang saja.”

Sekonyong-konyong sang istri merebut koran dari cengkraman suaminya. Karuan saja akibat terlalu kuat, mengakibatkan koran kesayangannya robek besar hampir terbelah dua. Brett!

Pak Bagindo kaget kemudian tercengang.

Istrinya terbengong.

Meva Terkekeh.

Si kucing termeong.

Si ayam terkukuk.

“Waduh Ibu ibu…Lihat koran Ayah jadi robek begini. Ibu harus perbaiki ya. Bagaimana caranya kek. Saya belum sempat baca seluruh berita. Celaka tiga belas ini namanya ha. Berita Demi Moorenya juga kena. Onde Mande. Bagaimana pula ni ha. Macam mana ini ha.” Pak Bagindo mencak-mencak hampir membuat sarungnya copot. Dia lupa ternyata belum pakai celana dinas.

“Aman itu Da. Nanti Ambo (saya) sambung pakai plaster ha.”

“Tapi jangan pakai plaster berwarna hitam ya.”

“Bereslah itu.”

“Ibu ini ado-ado sajo. Memangnya duit receh yang diplester. Kalau duit receh masih layak ditukar di money changer. Lha kalau nasib koranku ini, siapa yang doyan koran bekas tambalan. Tukang loak saja ogah. “ Tampaknya Pak Bagindo masih belum puas dan tampak kecewa berat.

“Ibu minta maaf ha. Habis Ayah juga yang bikin masalah. Da, istrimu ini bukan tukang sulap yang dapat mengembalikan koran itu ke wujud semula.”

“Aduh aduh! Pusing kepalo Meva ini. Pusingg pusiang pusiiiang.” Meva menepuk-nepuk kepalanya. “Masa ribu karena persoalan sepel gitu. Ayah Ibu ayo berpelukan…Malu kan sama tetangga kiri kana depan belakang. Malu juga sama Pushme kucing Meva. Lihatlah kupingnua berdiri karena kaget. Nanti Meva ganti koran Ayah dengan majalah Bobo dulu ya hehe. Atau nanti Meva borong deh korannya. Bila si abang loper korannya Meva bawain ke mari.”

“Sombong sekali kamu ya Meva. Masih status pelajar sajo sudah ngomongnya melantur. Pitih saja masih minta sama orangtua. Mau mencoba memborong koran. Habis nanti uang jajanmu. Nda ado nan tersiso. Yang benar saja kamu ini ha.” Canda Pak Bagindo sambil mencubit pipi anak kesayangannya itu. Meva langsung cemberut.

Sekonyong-konyong  kilat menyambar. Petir menggelegar. Semua menjadi kaget. Terdiam. Dalam hati mereka segera mengucap Istigfar. Hujan yang tadinya gerimis berubah menjadi semakin deras mengguyur bumi pertiwi.

“Astaga gawat! Percekcokan kita terdengar oleh Tuhan,”desis Pak Bagindo dengan mimik muka diseriusin. Lalu dia tersenyum manis. Sang istripun tertawa, menular ke Meva. Kucingnya yang bernama Pushme pun tidak ketinggalan ikut tergelak-gelak.

Beberapa menit berselang, sanga istri Samsidar Markonah melepas keprgian suaminya, Sutan Bagindo sampai ke teras depan. Di tengah guyuran hujan, Pak Sutan sambil menggandeng Mewa berlari kecil menuju mobil mereka. Sebuah Toyota Hadrtop tua tapi antik yang diparkir di luar garasi. Dengan sepayung berdua bergegas menaiki kendaraan. Mobil itupun melaju ke jalan raya. Menerjang hujan dengan jumawa. Lalu berkumpul dengan komunitas mobil lain.

Di sebuah komplek perumahan yang berdekatan dengan rumah tahanan. Kira-kira berjarak 1 kilometer berdiri bangunan kokoh berbentuk benteng. Bangunan itu adalah penjara untuk orang-orang yang terkena hukuman karena melanggar hukum. Pagarnya yang super tinggi dihiasi dengan kawat berduri. Bak tanaman yang melilit pohon. Rupanya bangunan itu telah berdiri sejak zaman pendudukan Jepang. Semacam peninggalan zaman tentara Nippon. Tak jauh dari situ ada plang dengan tulisan besar tipe ‘arial’ berbunyi : ‘Rumah tahanan Bertobat itu Indah’. Tulisan yang sama dapat diktemukan juga di atas pintu gerbang masuk. Namanya cukup mengandung makna atau pesan untuk mengajak semua orang untuk bertobat dan menjuhkan diri dari niat atau perbuatan jahat.

Berbeda dengan penjara pada umumnya. Padahal apabila kita memasuki area tersebut akan merasakan suasana yang lebih tegang melebihi penjara yang terkejam di dunia, yaitu ‘Penjara Alcatraz’.

Nah! Kebetulan Agus Blepotan bermukim di daerah yang kita maksud. Kok bisa ya? Mau lagi…Di lokasi perumahan Agus juga turun hujan, namun tidak sederas di rumah Pak Kepsek. Maklum, hari itu hujan turun tidak merata.

Agus tinggal bersama kedua orangtuanya dan tiga saudara perempuannya. Kebetulan bapaknya bekerja sebagai kepala penjara. Makanya bapaknya termasuk orang yang dihormati dan terpandang. Memikul tanggungjawab yang cukup berat. Setiap hari bertugas mengawasi dan memastikan suasana tahanan tetap kondusif dan para tahanannya betah sehingga tidak ada yang berniat kabur sebelum masa tahanannya jatuh tempo. Bisa ditebak, otomatis seluruh keluarga pada manggut bin nurut untuk menempati rumah dinas yang disediakan lengkap dengan fasilitas yang ada. Pada awalnya Ibu dan ketiga anak perempuannya ragu untuk tinggal disana. Mungkin ada kekawatiran akan mempengaruhi secara psikologi. Tentu beda rasanya tinggal di perumahan dekat penjara dibandingkan perumahan pada umumnya. Malah sang Ibu pernah usul ke bapaknya untuk mencari rumah kontrakan saja. Mereka takut kalau-kalau salah satu tahanan mantan pembunuh menjebol sel dan lepas lalu kabur mencari jalan keluar dengan mengitari kompleks dengan menteror rumah. Atau yang lebih ekstrem denagn menakuti-nakuti atau bahkan mencekik leher orang yang ditemuinya dengan sadis. Biasanya aksi itu dilakukan tengah malan, dimana saat orang tidur lelap dihiasi mimpi-mimpi indah. Bayangkan! Bukan tanpa alasan, karena keluarga ini pernah mengalami kejadian yang seram itu. Sehingga sampai detik ini sang Ibu masih trauma. Beberapa tahun lahu ada seorang tahanan bekas pembunuh bayaran berdarah dingin berhasil menjebol dinding penjara. Untungnya sipir penjara dan tim yang berjaga pada malam itu cepat tanggap. Mereka berhasil menangkap dan menjebloskan kembali ke penjara. Plus penambahan masa tahanan. Seandainya takdir berkata lain, misalnya tahanan itu berhasil mengelabui penjaga dan masuk ke rumah dan menteror kepala penjara. Bisa saja dia suaminya diikat. Siapa yang akan membantu mereka. Tentu si narapidana dengan mudah membekuk para perempuan dengan mudah. Kejadian di atas masih menjadi momok bagi kaum ibu rumah tangga disana. Wakaupun sebelumnya mereka telah dibekali ilmu bela diri dari kantor.

Berkat ketelatenan dan kesabaran Pak  Banteng dalam menasehati istrinya. Akhirnya luluh juga. Bapaknya berusaha menyakinkan untuk tidak takut. Karena mereka tidak sendiri. Masih ada keluarga lain yang bernasib sama. Akhirnya persaan takut sang istri pun berangsur pudar dengan sendirinya. Tanpa terasa mereka telah tinggal disana kurang lebih empat tahun tanpa ada gangguan yang berarti. Malah, si Agus, anak laki-laki mereka yang nomor dua, tampak akrab dan bersahabat dengan beberapa orang penghuni rutan. Kadang-kadang Agus pulang sampai larut malam melayani penjaga penjara main gaplek atau main catur.

Pagi itu, Ibu Agus berteriak kencang sekali. Urat lehernyapun sampai jelas terlihat menegang. Sambil memegang toa (pengeras suara) sang Ibu mendatangi kamar anak-anaknya satu persatu.

“Agusss! Agustiniiii! Agustinaaa! Niniiik! Eh kalau Ninik kan masih TK. Ayo bangun! Apa kalian tidak mau berangkat ke sekolah? Hari ini bukan hari libur ya. Ayo cepat sedikit. Kalau hujan begini usahakan berangkatnya lebih pagi. Antisipasi macet atau banjir. Ayo buruan bangun, mandi dan sarapan pagi!”

Tanpa ba bi bu lagi semuanya otomatis terjaga. Mereka alergi dengan suara yang keluar dari pengeras suara. Benar-benar memekakkan telinga.

Tidak lama kemudian terdengarlah hiruk pikuk, hingar bingar, klbak klebuk, gemuruh dari ruang tengah. Setelah semua menyelesaikan mandi pagi, mereka bergegas berebutan mendatangi meja makan untuk sarapan pagi. Masing-masing saling mendahului, tidak mau kalah. Takut kehabisan jatah roti mentega campur coklat yang sedap buatan Ibunya. Akibat buru-buru dan serakah, mulut Agus langsung blepotan.

“Aduh kalian ini. Jangan membuat malu ibu dong. Kan anak-anak Ibu sudah pada besar-besar kok masih bertingkah tidak senonoh. Masak tiap pagi musti begini terus. Brisik terus. Persis anak kecil rebutan permen. Kalem sedikit kenapa sih.”

“Iya nih Bu. Agus sama Agustina sama saja bandelnya. Kakak sduah bilang bersikaplah sopan dan dewasa, lalu kalian akan dihargai pula oleh orang lain.”ujar Agustini, sebagai anak tertua ambil bagian. Dia merasa bertanggungjawab untuk memperingati adik-adiknya.

“Dengar apa yang dikatakan Kakakmu. Pasang telinga kalian baik-baik. Jadilah anak-anak yang baik dan penurut.”timpal Ibunya lagi. “Aduh Agus, kamu kan sudah kelas satu SMA. Kok jorok amat sih. Mulut sampai blepotan begitu. Bersihkan dengan tisu segera.”

“Maklum Bu, dia kan masih bayi. Makan saja masih belum beres.” Celetuk Agustina.

“Ibu selalu saja membela Mba Tina. Dia juga sama dengan Agus telat bangunnya. Mentang-mentang dia anak paling tua. Selalu lolos dari omelan. Dimana letak keadilan di rumah ini.”protes Agus sembari menyeka mulutnya. Lidahnya juga menjilat-jilat sisa kismis dan susu coklat yang masih menempel.”

“Agus, siapa saja yang nakal pasti Ibu omelin. Ngapain Ibu pilih bulu. Emang kalian ayam? Semua anak kesayangan Ibu. Semua posisinya sama di rumah ini.” Cetus Ibu Agus.

“Idih kamu ngiri ya Gus? Kakak tadi kaget dengar Ibu teriak lewat speaker. Disangka tadi ada gempa teknoktronik.”

“Tektonik Tin,” jelas Ibu cepat-cepat meluruskan, “ bukan elektronik.”

“Sorry Bu. Maksud Aku tadi mau ngomong begitu. Eh, sudah keduluan,”dalih Agustina mesem-mesem. Matanya merem-melek dengan genit. Lidahnya sengaja dijulurkan ke arah Agus. Agus pura-pura mau nimpuk pakai meja.

Petir menggelegar. Di luar hujan mulai lebat.

Tiba-tiba si bungsu Ninik alias Butet, si paling bontot barusaja keluar dari kamar sembari mengucek-ngucek matanya. Tanga kanannnya yang mungil masih memeluk bantal guling ‘Winnie the pooh’ nya. Sedangkan tangan sebelah kirinya mendekap selimutnya yang panjang menjuntai ke lantai.

“E-eh si cantik Butet sudah bangun ya..” sambut Ibu dengan suara sepertri mendendangkan sebuah lagu.

Ninik tersenyum.

“Bapak kemana Bu? Masak Butet tidak dibangunkan. Bapak nakal. Butetkan masu berangkat sekolah. Hari ini bu guru kasih pelajaran cara menggambar pemandangan di desa. Dia juga mau membuat patung dari lilin. Tahunya….telat deh. Butet harus berangkat pagi..Uhukk..uhuk” rengek Ninik sambil menarik-narik celemek Ibunya. Tangannya mengusap pipi dan mencium kening Ninik dengan lembut dan penuh kasih sayang. Kakak-kakaknya lalu bergantian mencium adik bungsungnya yang masih menggemaskan itu.

“Bapak tadi sudah mencoba membangunkan Ninik. Tapi tadi susah bangunnya. Bapak lihat tidurnya nyennyak sekali. Jadi Bapak tidak tega menganggu tidurnya Ninik. Bapak tadi minta maaf katanya harus berangkat ke kantor buru-buru karena ada rapat.”

“Rapat itu apa Bu?”

“Rapat itu. Bapak bersama teman-teman dikantornya membicarakan sesuatu yang penting.” Jelas Ibu sekenanya.

“Oh ngobrol ya. Tapi yang penting-penting. Iya iya.” Ninik mengangguk tanda mengerti.

“Yuk, mimik susu duulu. Nanti biar Opung yang mengantar. Sebentar lagi dia datang. Opung lagi jojing.” Ibu dengan cekatan memangku anak bungsunya itu. Ninik membalasnya dengan pelukan erat dan sayang.

“Bu…, Butet tidak mau diantar sama Opung ya.”

“Lho, kenapa sayang?”

“Opung kalau jalan suka lelet Bu.”

“Habis mau diantar sama siapa, wahai tuan putri?”

“Sama Ibu saja ya.”

“Bagaimana ya. Pekerjaan rumah tangga Ibu masih banyak dan kamar-kamar masih berantakan. Belum pakaian-pakaian kotor belum dicuci dan disetrika.”

“Ibu sekali-sekali istirahat dong. Kalau sakit bagaimana? Atau cari pembantu saja. Kalau ada pembantu kan bisa antar Butet. Betul nggak?”

“Sayang banget ya sama Ibu. Oke.” Jawab Ibu sambil menganggukkan kepala. Ninik melionjak kegirangan. Tertawanya lebar banget. Kemudian dia buru-buru meminum susu rasa strawberry kegemarannya dengan lahap sekali.

“Buu, jadi Bapak sudah berangkat duluan nih ceritanya?” tanya Agus dengan nada lemas.”Kok Bapak tega sih membiarkan anak-anaknya pergi sekolah dengan basah kuyub. Lalu kami ke sekolah naik oplet(angkot) ya?”

“Bukan begitu. Pokoknya semua tenang deh. Nanti Opung yang akan mengantarkan. Bapak tidak membawa mobil kok. Bapakmu tadi bilang ada keperluan mendesak. Makanya subuh-subuh dia sudah duluan bangun. Mana belum sempat sarapan pula. Tuh, lihat gelas kopinya masih di meja.”

“Ada apa sih Bu?” Tanya Agustina penasaran. Apa ada tahanan kabur. Atau dapat pelimpahan tahanan dari kota lain?”

Ibu menggeleng tanda tidak tahu. “Opung kemana nih. Tenaganya dibutuhkan untuk menyetir pagi ini malash belum balik-balik.”

“Opung lagi, Opung lagi.” Agustina ngambek.”Nyetir mobilnya lelet Bu. Bisa-bisa baru sampai pas jam istirahat deh.”

Agus berlari ke kamarnya untuk mengambil ular karet yang dibelinya kemarin sore. Setelah dimasukkan ke saku celana dia bergegas pergi.

Kesimpulannya Agus mengalah, lebih memilih naik angkutan umum saja. Kakak perempuannya akan diantar oleh Ibu. Karena setelah ditunggu lama si Opung belum nongol-nongol juga dari jojing. Ibu menduga si Opung pasti sedang berteduh di sesuatu tempat. Ibu berniat memanggil Agus biar bisa berangkat sama-sama. Akan tetapi Agus sudah terlanjur lenyap dari pandangan.

Tepat di kebun wak haji Adenin Palembang, Agus berhenti sebentar. Timbul ide untuk mengambil daun pisang yang lebar yang kebetulan menjuntai guna dipakai sebagai penganti payung. Ibarat kata pepatah tak ada payung daun pisangpun lumayan.

Tekya berusaha mempercepat langkahnya, tetap tidak bisa. Walaupun sudah separuh tenaganya di kerahkan, ayunan langkahnya semakin berat. Pantas saja, sepatu bagian bawahnya, tepatnya di alas kakinya sudah lengket dengan tanah liat yang merah. Belum lagi menghindari genangan air pada jalan yang berlobang, membuat pandangan menjadi saru. Terang saja dia kewalahan hari itu dia berjalan di tengan hujan yang semakin lama semakin lebat. Sialnya, tanpa dibekali sebuah payung lagi, Tekya menerobos hujan yang terus mendera. Tak ayal lagi, kondisi pakaian seragamnya nyaris basah kuyub.

Pada hari itu, keberuntungan sedang tidak berpihak kepada Tekya. Bagaimana tidak, ketika angkutan umum tinggal 100 meter lagi, tiba-tiba entah kenapa angkot yang dia tumpangi mendadak mogok. Bukan hanya bang supirnya yang kalang kabut, tetapi penumpang di dalamnya yang kebetulan tersisa Tekya seorang juga ikut senewen. Jarak antara sekolah dengan posisi kendaraan mogok masih tanggung. Sedangkan cuaca sedang tidak bersahabat. Hujan masih turun dengan curah lumayan deras. Bang Supir sudah berusaha mencoba dengan berbagai cara, semampunya dia. Berbagai gaya menstarter pada kunci kontak dia terapkan, namun tetap setrumnya terdengar lemah. Usahanya sia-sia. Kasihan keduanya.

“Bagaimana ini Pak? Masih tidak bisa ya?” Tanya Tekya berharap-harap cemas. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 07.25. Sudah mepet betul.

“Iya Dik, sepertinya akinya lemah. Selemah hatiku saat ini gambarannya..” jawab Abang supir dengan lemas.

“Ayo bang, usaha lagi. Saya yakin Abang bisa kok. Banyak jalan menuju sekolah eh menuju roma ding. Coba stater lagi. Atau bukan karena akinya yang soak atau gara-gara lampu kucing atau wipernya yang rusak jadi menular ke mesinnya kali….”

“Adik, coba ya, jangan sok tahu deh. Saya sudah belasan tahun menjadi supir. Belum pernah terjadi seumur hidup saya kalau lampu kucing atau wipernya mati membuat mesin mobil mati juga. Nggak nyambung nian. Jadi jangan pakai mengajarin deh. Adik sekolah saja yang benar dan rajin. Jangan mencontek.” ucap Supir dengan ketus bercampur kesal.

“Eh, abang kok sewot sih.”balas Tekya ketus. “Masalahnya jarak sekolah saya tinggal sedikit lagi. Malah mobilnya mogok. Kalau saya turun, habislah saya kena hujan. Bagaimana ini? Tugas Abang belum selesai karena belum mengantar saya sampai tujuan. Penumpang adalah raja. Aduh! Sial bener saya hari ini.”

“Saya mengerti. Kita sama sama ketiban sial.”

“Bang, jadi kesimpulannya bagaimana? Apa yang harus dilakukan?”

“Satu-satunya cara adalah dengan mendorong, Dik.”

“Didorong? Saya sendiri?”

“Mau nggak mau. Kalau Saya ikut dorong siapa yang ngarahin stirnya Dik. Bisa-bisa kecebur got.”

“Oh begitu. Hujan-hujan begini. Terus kalau saya sakit siapa yang tanggungjawab? Coba pikirkan?”

“Mana saya tahu. Males banget deh. Hujan-hujan begini disuruh mikir. Kalau nggak mau ya sudah turun saja. Nanti Adik telat lho…”

Akhirnya dengan terpaksa Tekya keluar dari angkot dan menerobos hujan yang masih turun. Tekya masih mendengar teriakan Bang Supir sayup-sayup.

“Wah, katanya mau bantuin dorong dulu? Kok malah kabur..”

“Saya bantuin doa yaaa..!” pekik Tekya dengan penuh semangat. Meninggalkan bang supir dan mobil angkotnya yang masih terparkir di pinggir jalan.

Tekya tidak mungkin menanti hujan reda. Pawang hujan juga pasti tidak tahu, pikirnya dalam hati. Tekya memutuskan meneruskan perjalanannya sakralnya menuju sekolah. Dia musti mempercepat langkahnya agar tidak terlambat.

“Dasar apes sekali hari ini. Gara-gara mobil angkot yang sudah tua. Ya Tuhan apakah salah dan dosaku? Uhukk.. “Tekya tak henti mengutuki keadaannya. “Lagipula angkot sudah tua dan butut masih saja dioperasikan. Pantasnya sudah dimuseumkan. Coba kalau cuaca tidak hujan pasti saya sudah pilih-pilih angkot. Sudah mogoknya tidak pakai kompromi pula. Mbok ya hujannya berhenti dulu baru mogok. Aduh! Basah semua nih. Bisa-bisa sampai di sekolah diketawain sekelas. Oh my God! Buku gambarku juga ikut mandi hujan. Hiyyy dinginnnn…Brr..brr.”

Pada suatu ketika, tiba-tiba wajah Tekya langsung berubah ceria. Di hadapannya tersaji seorang murid cewek sedang berjalan juga. Dari belakang Tekya terus mengamati gerak-gerik si cewek. Tekya berusaha mendekat dan mensejajari langkahnya. Tekya semakin penasaran ingin melihat wajahnya. Siapa tahu dia kenal. Atau mungkin teman sekelasnya. Lumayan bisa nebeng. Kebetulan sekali cewek itu membawa dua buah payung. Kesempatan baik ini langsung dimanfaatkannya. Tekya memberanikan untuk menyapa..

“Hai, hallo, hallo hallo Bandung aku sedang kedinginan…Boleh nggak numpang payungnya. Payung saya ketinggalan di rumah.”

Cewek yang disapa otomatis kaget, ada cowok tidak dikenal tapi sok kenal. Si cewek langsung pasang muka curiga dulu. Walaupun di hadapannya berdiri seorang cowok sekelas Tommy Page, sepertinya si cewek tetap teguh pada pendiriannya. Emang saya cewek apaan langsung takluk dan termakan rayuan lirih si cowok cakep yang sekarang berdiri disampingnya. Menjaga image dan sedikit aksi jual mahal sebagai seorang wanita adalah hal yang terpenting. Apalagi kepada orang yang belum kita kenal.

“Mba mba, bokeh kan saya pinjam payungnya. Oke deh, kalau perlu saya sewa deh barang beberapa menit saja. Paling tidak sampai ke sekolah tidak kebasahan begini.”

“Nggak usah ya. Kamu siapa? Dari SMA mana sih? Berani-beraninya negur orang. Saya tidak kenal situ.” Tolak cewek itu sambil mendlik sewot. Tanpa menghiraukan permohonan Tekya yang mengiba-iba, dia terus berjalan berlenggak lenggok bak ‘gadis kebaya’. Bukan Tekya namanya bila menyerah begitu saja. Dia terus membarengi si cewek.

“Please…Pinjamkan dong Aku payungmu barang sekejab. Jangan pelit dong.”

“Bukannya saya pelit. Payung ini kekecilan buat kamu. Payung ini kepunyaan adik saya yang masih SD kelas satu.” Lagi-lagi si cewek menolak.

“Masak nggak boleh. Kamu tega nian ya melihat saya basah kuyub.  Ngomong-ngomong sepertinya kita satu sekolah deh.”

“Lho, Kamu tahu darimana?”

“Itu..dari atributmu ketahuan. Tidak bisa dibohongi. Kita satu sekolah.”

“Aku belum pernah melihat kamu.”

“Kamunya saja mungkin jarang bergaul. Di kelas melulu. Saya kan anak pungky, makanya jarang di kelas. Maksudnya saya nggak suka berlama-lama dalam kelas.”

“Kenapa? Nggak betah ya?” Akhirnya si cewek tanpa sadar memayungkan Tekya juga. Tekya tidak menjawab. Lama kelamaan dia tidak tega juga melihat Tekya menggigil kedinginan. “Kamu kesinian dong, katanya mau nebeng.”

Kemudian cewek itu malah menyodorkan juga sebuah payung kecilnya kepada Tekya. “Nih pakai.” Tekya dengan cepat membuka ikatannya dan segera mengembangkan payung itu.

“Terima kasih ya. Aku sudah menduga kamu pasti cewek baik hati. Kamu mirip artis idolaku dari Hongkong.“

“Emang siapa?”

“Lin Ching Hsia.”

“Nggak kenal.”

“Oh ya? Sayang sekali. Dia top lho. Kamu harus sering nonton film Mandarin.”

“Biarin. Aku kurang suka.”

“Sekali lagi terima kasih ya sudah meminjamkan payungnya.”

“Eeit enak saja pinjam. Sewa dong. Tarif Rp 5000 saja sampai sekolah.”

“Aduh, mahal amat. Ya sudah nggak apa-apa. Deal. Tapi bayarnya belakangan ya.  Hari ini saya bawa uangnya ngepas.”

“Iya.”

Tanpa dikomando, mereka berdua mulai berlari-lari kecil agar tiba sebelum bel berbunyi.

Sampai di depan lobby sekolah, mereka bergabung dengan murid-murid pasukan berpayung lain yang bernasib sama. Tekya meraba saku celananya. Lalu merogoh dompetnya dan menyodorkan uang kertas seribuan tiga lembar kepada si cewek. “Sekali lagi terima kasih ya Mba. Kekurangannya nanti saya bayar. Please..”

Cewek itu langsung mengambil payungnya dan bergegas meninggalkan Tekya yang masih memegang uang sembari berdiri mematung.

“Ini uang mbaaaa!” teriak Tekya tanpa memperdulikan sekitar.

“Nggak usah, pegang saja. Bercanda kok.”

Si cewek itu lenyap di balik tangga.

“Namanya siapa ya..Jadi lupa kenalan.” Tekya tersenyum tersipu-sipu.

Pak Kepsek terlihat berjalan tergopoh gopoh seraya menenteng tas besar berwarna hitam. Yang pasti tuh tas bukan bermerk Hermes. Di luar hujan masih belum juga berhenti. Namun intensitasnya sudah berkurang. Cendrung gerimis. Tidak biasanya beliau hari itu tidak membawa payung panjangnya. So jadi Pak Kepsek menggunankan sehelai saputangannya yang berwarna pink norak menjadikan penghiasa kepalanya, agar terhindar dari butiran-butiran air. Yang menghantam ubun-ubunnya berkali-kali. Sebagaimana yang kita dengar bahwa air hujan mengandung sedikit air raksa yang dapat mengakibatkan kepala menjadi pusing. Nasib Pak Kepsek masih lebih beruntung dibandingakan dari guru-guru yang lain. Malah, Bu Susun Kutacane nyaris basah kuyub.

Tidak apa sih. Ibu Idayati Gaga lebih miris legi menjadi tontonan gratis anak-anak. Masalahnya sang guru yang baru berdinas 6 bulan itu nyaris mandi. Bisa dibayangkan lekuk-lekuh bodynya nan semok itu jadi terpampang jelas bagai lukisan pemandangan yang mendapat ponten 100. Untungnya blazer hitam yang membalut tubuhnya cukup membantu kemejanya berwarna putih berkrah rada transparan, sedikit tertutup, sehingga menghalangi pandangan nakal orang-orang. Otomatis suasana hujan yang tidak romantisme itu dihiasi dengan suara teriakan wuihh….Bu Idayati nan menggemaskan itu telah dapat membaca situasi yang merugikan dirinya. Sekejab pemandangan makhluk  nan indah ciptaan Tuhan itu telah lenyap dibalik pintu.

Cukup soal Ibu Idayati Gaga, kita kembali fokus kepada keadaan Pak Kepsek. Walaupun tidak menarik perhatian. Sampai depan pintu lobi utama gedung sekolah, beliau disambut ramah oleh petugas administrasi dan tata usaha.

“Selamat pagi Pak, “ sapa Pak Tukijan  sumringah ketika berpas-pasan dengan atasannya, “Tumben tidak membawa payung Pak.? Aduh baju bapak basah semua.”

“Selamat pak Kijan. Iya saya lupa membawa payung. Tidak menyangka akan turun hujan. Bahkan koran pagiku juga tak terselamatkan. Ihikss”

“Betul Pak. Kadang prediksi kita suka meleset. Lho bawa tidak bawa mobil?”

“Mana mungkin bawa mobil, Pak Kijan. Mobil kan berat. Bagaimana mungkin? Canda Pak Kepsel.

“Ah Bapak bisa saja. “

“Saya diantar istri sampai di depan warung dekat SMEA.”

“Belanja dulu Pak?”

“ Iya beli permen dapat rokok.”

“Ah mana mungkin.”

“Mungkinlah..saya beli rokok uang kembaliannya ditukar permen. Hahaha..”

Keduanya tertawa.

“Wah, saya lihat kondisi kamu tidak basah. Pakaianmu kering kerontang. Diantar becak sampai ke halaman sekolah ya? Atau jangan-jangan kamu nginap di sekolah alias tidak pulang?”

“Tidaklah Pak.” Pak Tukijan hanya nyengir kuda nil.” Ah Pak Sutan ini bercanda melulu. Memangnya saya petugas siskamling. Hari ini saya datang lebih pagi Pak. “

“Bagus. Pak Tukijan, umumkan kepada guru-guru lain ya.”

“Umumkan apa Pak?”

“Tolong kosongkan kamar mandi. Saya mau pakai mesin pengering dulu. Masalahnya saya tidak bawa pakaian ganti.”

“Siap Pak. Oh ya, saya boleh pinjam korannya sebentar. Saya mau melihat pengumuman nama-nama pemenang  kuis TTS terbitan minggu lalu. Siapa tahu nama saya nyangkut.”

“Nih. Kalau menang jangan lupa traktir ya.” Ujar sang Kepsek sambil mengerdipkan matanya genit  sambil tidak lupa menyodorkan koran leceknya karena basah.

Pak Tukijan mengangguk sambil nyengir dinosaurus. Dengan mata-mata berbinar-binar dia membawa koran itu ke ruangannya. Lalu dibentangkannya lebar-lebar. Diiringi degup jantungnya yang berlari-lari. Setelah dibolak balik dilipat digulung dan dibentangkan dikibarkan lagi tetap tidak ketemu halaman yang dimaksud. Sampai pada suatu ketika, mata Pak Tukijan membelalak sambil mendengus kesal.

“Sialan. Pak Sutan bagaiman sih. Pantas, yang dikasih koran dua bulan lalu. Ternyata koran bekas.”

Dan..Pak Sutan pun ikut-ikutan lenyap di balik pintu. Besok-besok mungkin si pintu lenyap digondol maling. Hihi..

Air mulai menggenangi pekarangan, membasahi tanaman apotik hidup dan sedikit lapangan basket, tapi cukup mengakibatkan lapangan sepak bola menjadi becek. Suasana koridor kelas tampak sepi. Tiap kelas telah memulai aktivitas belajar. Tampak beberapa siswa masih berkeliaran di sekitar kantin untuk sekedar membeli cemilan dan minuman kaleng.

Sudah lumrah untuk suatu revolusi eh salah maksudnya hujan selalu dijadikan kambing hitam untuk datang terlambat. Alasan bisa bermacam-macam. Banjirlah…Jalanan macetlah…

Bel masukpun menjadi molor, biasanya pukul 7.30 WIB disulap menjadi pukul 8.30. Tergantung deras atau tidaknya curah hujan yang turun. Di lokasi lain mungkin momen hujan dapat dijadikan alasan untuk narik selimut lalu meringkuk di tempat tidur. Beberapa anak-anak kecil tampak asik bermain bola sepak di lapangan yang becek. Mereka tak menghiraukan efek dari hujan tersebut.

Sementara itu, sekumpulan gang serdadu kelas 1.3 tengah membentuk kerumunan sambil duduk-duduk bangku panjang. Di sana  ada beberapa pentolan siswa yang bandel. Seperti si Faisol Kriting, Ichsan TWEJ, Agus Blepotan, Ali Sanawiyah, Apto Priggodani dan Yudo Gempul.

“Heyy…Telya lakadam!! Sudah salaman belum sama Yudi!” Panggil Faiso seraya melambaikan tangannya. Tekya hanya terdiam bengong. Mirip kambing bingung.

“Sudah, kemari aja. Nggak dikerjain kok. Pakai pura-puran pinter lagi lho. Bukannya kamu sduah lebih tahu kalau masalah beginian. Kemaren kan hari raya Imlek alias sinchia..Katanya tetangga kamu kiri-kanan banyak chinesenya.” Timpal Ali Sanawiyah cengengasan yang menjadi ciri khasnya.

“Waduh, iya iya,” Tekya baru sadar sembari menepuk jidatnya, “selamat sinchia ya Yudi. Xong chi Fat Choy.  Xongsi..Xongsi..Tekya menyatukan dua genggam tangannya mirip kayak pendekar dalam film Mandarin memberi hormat.

“Kenapa tidak bawa kue yang berwarna merah-merah itu,” sela Yudo Gempul.

“Oh yang dari kacang hijau itu, “ sambar Yudi Sungideres yang kebetulan penganut Khong Hu Chu.. Yudo Gempul mengangguk. “Tenang kawan-kawan soal kue-kue gampang. Semuanya tersedia. Kue kering karna kejemur ada. Kue basah yang kecemplung sumur juga ada. Bahkan pempek dan tekwan orangtua juga menyediakan. Apalagi minuman cincau kaleng. Ssttt…bir songhie juga ada beberapa krat. Komplit. Asal nggak pada ngantongin kacang yg banyak seperti tahun kemaren.

“Bagaiman kalau pulang sekolah nanti kita mampir ke rumah Yudi? Rumah kamu di daerah Yud. Jauh tidak dari sekolah kita.” Ujar Faisol Kriting berapi-api. Saking kepingin dapat makanan gratis.

“Khusus acara begini, kita always standby kok Yud..” Cerocos Ichsan TWEJ. Kacama tebalnya nyaris copot ketika mendengar kata makanan.

“Lu ada shong hie sama whisky juga Yud?” Tanya Agus Blepotan.

Yudi mengangguk. “Iya habis pamanku juga doyan mabok.”

“Paten paten. Mantap!” puji Apto Pringgodani senyam senyum.

“Emang kenapa Gus..kamu nanya minuman keras? “ Tanya Yudi sedikit penasaran. “Kamu doyan mabok juga ya? Belum dewasa. Belum akhir balik, lebih jangan dulu deh. Nanti malah muntah-muntah di rumahku.”

“Ah kamu belum tahu Aku sih. Aku sudah lama tidak menenggak minuman-minumas keras. Sedap nih kalau di rumahmu ada. Masak Cuman kue-kue dong. Ah cemen bro…Emang saya pelajar banci kaleng. “ ketus Agus Blepotan yang rada bertampang centeng pasar inpres. Anatominya saja kalau diamati secara seriud lebih mirip botol kecap.

“Wah ini ini kalau kalian minum awas ya. Pokoknya tidak ada acara teler-teleran ya..”Protes Debby sambil menunjuk-nunjuk ujung hidung Agus. Agus terkesiap kaget. Dia kesel hidungnya yang sudah pesek alias mancung kedalem itu ditunjuk-tunjuk.

“I agree with you Debby. Deal. Thats stupid boy. Forbiden. Not useful. Very dangerous. Kalau pakai acara teler, I’am not followlah…timpal Ichsan TWEJ.

Pukul sembilan kurang seperempat bel berbunyi panjang. Pelajaran untuk jam pertama dipagi nan indah untuk kelas 1.3 yaitu kesenian atau menggambar. Dan akan diasuh oleh Kak Seto eh salah yang betul oleh Bu Yuli. Akan tetapi karena beliau berhalangan hadir lantaran ada kabar berita jalan menuju ke rumahnya kebanjiran. Sampai sekarang belum ada guru penggantinya. Sontak banyak siswa-siswa yang kecewa, alasannya tidak lain dan tidak bukan karena menggambar merupakan pelajaran yang super santai. Asik dibuat untuk rilex, melamun, ngalor ngidul dan menggosip. Noteabene tidak perlu menguras pikiran dan urat saraf. Tekya, termasuk paling menggerutu kali ini. Betapa tidak dia musti berkorban menyewa payung demi menyelamatkan bukur gambarnya. Dia juga sudah menyiapakan segala macam tetek bengek peralatannya, rapido, jangkar, mistar, spidol, pensil de el el. Dan dia juga terlihat dua ratus kali lebih serius dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Oh Ibu Yuli, engkau membuatku kecewa deh. Saking kesalnya, ingin rasanya Tekya melompat dari ruangan kelas di lantai tiga dilengkapi dengan parasut tentunya. Olala. Sejurus kemudian Tekya menerawang.

Rekan sebangku Tekya lain lagi, si Faisol menyaksikan Tekya yang tengah dilanda kecewa berat. Kelihatan dari gerak geriknya yang tidak tenang. Niat rencana ingin mengusili si Tekya, dia urungkan. Tekut disemprot. Lalu Faisol segera mengambil topik aksi lainnya. Oh ya lebih baik dia melamunkan makhluk hidup ciptaan Tuhan yang paling indah yaitu : perempuan alias cewek. Tampangnya seruwet rambut kribonya. Alamak! Rupanya dia sedang membayangkan sesosok wajah manis bernama Emilia, anak cewek kelas 1.5. Kelasnya tepat di muka tangga lantai tiga. Akibatnya Faisol jadi tertawa sendiri persis orang sedeng.

Tiba-tiba..Lamunan Faisol buyar gebyar. “ Sol..sol..kamu bawa buku gambar tidak?” Rupanya Tekya yang punya gawe. Eeh mahkluk yang ditanya malah tidak menjawab sepatah katapun. Dia tak bergeming. Tetap setia melamun. Swear, Faisol tak menghiraukan teguran teman sebangkunya. Akhirnya Tekya menempuh jalan terakhir menimpuk jidat Faisol dengan buku gambar berukuran A3. PLOOKK!!! Baru Faisol tersadar dan mulai kembali ke alam nyata.

“Ada apah sing begajul. “hardik Faisol kelabakan. “Kamu mengusik lamunanku saja. Kan sulit lagi Aku untuk berkesentrasi untuk kembali melamun. Tahu nggak?!”

“Aku lupa bawa buku gambar! Puas?!” Omel Faisol kepada Tekya. “Kamu ini kenapa si Tekya, tidaak boleh melihat orang senang sedikit sih. Buyar deh lamunannku. Kabur tuh cewek…”

“Wuihh, segitu sewotnya. Padahal saya kan tanyanya baik-baik. Sol Sol..Faisol bedegul. “

“Lupa Luapa! Aku lupa bawa. Emang kamu mau pinjamin Aku?”

“Ogah. Nanti kamu keterusan malesnya slalu lupa membawa buku gambar.”

“Habis ukurannya besar. Tasku tidak muat.”

“Yang penting niat bro..”

“Kali ini kamu beruntung. Bu Yuli berhalangan.”

“Asikkk.” Lantas kita sekarang waktunya bebas.” Wajah Faisol bercahaya. Dalam hatinya pengin loncat-loncat kegirangan namun diurungkannya tindakan gila tersebut.

“Lho aku kok nggak nemui buku gambarmu Tekya. Lupa juga ya?”Ledek Faisol dengan bibir yang dimancungkan. Nyaris dower mirip Mick Jagger. “Kalau begitu skor kita sama ya. Senasib sepenanggungan. Sama-sama lupa bawa buku gambar. Ibarat saudara kembar saja. Serupa tapi tak sama. Kalau kamu mirip manusia sedangkan saya manusia asli. Hehehe..”

Timbullah rasa  kesal Tekya. Sambil mendengus kayak wedus. Tekya cepat cepat merogoh sesuatu dari sorong mejanya. Kemudian terpampanglah seonggok buku menggambar ukuran A3 yang kondisinya sedikit basah dan kumal. Untung masih layak pakai.

Faisol kaget. Kedua bola matanya yang hitam bergeser ke tengah mirip orang juling. Sesaat kemudian kepalanya menggeleng-geleng tanda takjub heran.

“Gara-gara hujan sialan!” Maki Tekya.

“Astagfirullah! Nyebut Tekya…Hujan itu berkah dari Allah.”

“Ampun ya Allah. Ampuni bacot hambamu ini. Asal njeplak aja. Saya khilaf ya Tuhan.” Tekya langsung gelagapan.

Faisol cekikikan sampai  punggungnya tersender di sandaran bangku. Tiba-tiba dia refleks mengajak Tekya untuk toast. Dengan gerakan sedikit lamban dan gelagapan, akhirnya Tekya menyambut juga lima jari milik Faisol. Kelima jarinya juga keriting seindentik dengan rambutnya. Lalu Faisol berkata, “ Dengarin ya Tekya. Kamu masih lebih hoki dibanding Aku. Buku gambar milik kamu masih berwujud barang. Lha! Kalau punya awak ini sudah tidak ada juntrungnya lagi. Alias lenyap.”

“Maksudmu? Buku gambarmu basah kena hujan lalu menjadi hancur menjadi potongan-potongan kecil. Begitu?”

“Bukan begitu maksud awak. Hilang tak berbekas..”

“Aku jadi bingung Sol. Masih belum mudeng dan belum tahu arah pembicaraannya.”

“Gawat kamu. Kebanyakan minum pil koplo ya. Jadi overdosis.”

“Sudahlah, Jangan banyak cincong. Ceritamu diringkas aja. To the pont gitu.”

“Oke. Keseimpulannya “BUKU GAMBARKU KETINGGALAN DI OPLET”. Puas kamu?!”

Meledaklah ketawa Tekya seketika mendengan alasan dari mulut Faisol.

“Sudah kuduga kamu pasti akan meledekku. Huh! Daasar tidak setia kawan.”

“Lantas kamu tidak menguber dan berteriak? Biar busnya berhenti.”

“Sudah. Tapi mereka terus aja pergi. Ihikksss..”

“Kasihan kamu Sol. Aku turut prihatin.” Tekya menepuk bahu temannya dengan buku gambarnya yang kumal bin dekil.

Selang beberapa menit kemudian, menjelang pelajaran usai, suasana kelas tampak riuh gemuruh seperti di pasar inpres. Setidaknya terdapat beberapa gelintir anak-anak cowok bertingkah seperti begundal-gundal pacul-cul gembelengan…melancarkan aksi membuat gaduh. Sementara anak-anak cewek mengalah dan tidak mau terlibat, cukup berlaku kalem dan acu-acuh cuwek. Lebih nyaman menjadi penonton saja.

Para Serdadu kelas 1.3 dapat digolongkan katagori remaja berusia tanggung yang penuh kreativitas, enerjik over dinamis.

Seperti kejadian kali ini, sebuah konser gelap dadakan yang dimotori oleh Yuda Gempul tercipta sudah, plus personelnya macam  Agus Blepotan, Ferry Item, Choi Kurcaci also starring Sony Betapermax  mulai bangkit kekumatannya. Mereka bertindak atas komando Yuda Gempul yang menggerak-gerakkan layaknya konduktor atau dirigen yang memandu sekelompok pemusik pada suatu pagelaran konser musik. Beberapa anak bagaikan keiblisan mengeplak-geplak meja seolah-olah drum. Tentu saja bunyi yang dihasilkan berantakan. Lebih mirip knalpot pecah yang racing. Jauh dari kesan harmonis dan merdu. Komposisinya kocar-kacir. “PLAK! DUNG DUNG PLAK! PLETAK! GENJRANG GENJRENG! NA NA NA NA!” Kurang lebih seperti itulah nadanya. Sungguh tidak jelas. Suaranya membahana. Walaupun begitu mereka tetap cuwek dan kompak. Lama kelamaan agak terdengar dan terbentuk juga nadanya.

Memang, tidak ada greget dan nilai seninya. Yang pasti amburadul yang membuat pusing kepala. Sekali lagi, ahenya mereka tampak menjiwai seaakan-akan mengikuti irama dari pak komposer dengan benar. Tidak beberapa lama sayup-sayup terdengar lagu dengan balutan irama padang pasir di Timur Tengah. Mendayu-dayu dan melenggak lenggok bak ratu kebaya. Namun lagunya terdengar hancur ketika dimasukkan lirik yang diplesetkan menjadi parodi. Padahal iramanya mengambil sebuah lagu Koe Plus yang berjudul ‘di sekolah’. Lagunya kurang lebih seperti ini..: DI SEKOLAH YANG KUHITOING-LUHITOUNG, HANYAKAH CIWEK. KTELAH LAMA MENULAK-MENULAAAK EH MASIH NGEBEET JUGA.

Sejumlah siswi cewek seperti : Lala Arleini, Eveltine, Debby, Fatimah, Inyoy, Novelita, Dewi Brisik, Elbala Diba, Baba Bubu dan sejenisnya. Mereka serempak meneriakkan suara “HUUUUUU..! Zoel yang sering gamang akan jenis kelaminnya itu masuk ke kelompok mana. Zoel yang feminim itu memang lebih tertarik bermain dengan siswi cewek, walaupun dia terpasung dalam badan lelaki. Namun naluri dan sifatnya nyemplung  ke perempuan yang lemah lembur serta gemulai. Namun, kali ini Zoel tak ingin ambil bagian pada parade kali ini. Dia hanya terdiam diri di sudut kelas. Entah siluman apa yang sedang mamasuki raganya sehingga dia berlaku kalem kali ini. Biasanya dia acap berbaur malah terkadang bikin heboh. Tadi pagi Zoel ikut merasakan siraman air hujan yang dipercikan dari ban mobil oplet atau angkot. Kejadian itu sempat membuatnya naik darah. Zoel tak sempat mengumpat sopirnya, karena telah lenyap di balik tikungan. Juga timbul rasa malu ketika tengah memasuki area sekolah. Beberapa gelintir dari kelas lain sempat terdengar cekikikan tertawa mereka yang sepenuhnya Zoel rasakan nada meledek. Melihat bajunya terdapat beberapa bercak noda tanah dan basah. Seragamnya yang sebelumnya putih bersih mengkilap menjadi hitam buram. Seandainya saja (kalau boleh berandai-andai) disekitar kejadian masih sepi pastilah Zoel sudah berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Zoel hanya tidak tega menyaksikan Ibunya dengan susah payah membersihkan noda. Guyuran hujan dan insiden tadi pagi langsung membuatnya mati rasa.

Oh ya Debby sempat  menarik-narik tangannya diiringan rayuan agar mau bergabung. Tapi tak mempan. Zoel sudah terlanjur tidak bernafsu.

“Kenapa si Zoel?” Tanya Eltine kepada Debby.

“Entahlah. Tidak biasanya. Kesambet jin n jun kali.”jawab Debby sekenanya.

“Mungkin dia kesal sama kejadian tadi pagi yang merenggut….”cerita Eveltine.

“Merenggut….baju seragamnya ya? Hahaha.” Debby sumringah.

Eveltine dan Debby cekikikan.

Susasana tidak kondusif. Di tengah hiruk pikuk kelas yang mirip kapal Titanic yang pecah. Di sebuah meja dekat jendela. Iwan Mukejenuh yang bertubuh gembal, berbodi subur dan lumayan kekar. Selain berwajah Boolywood tampak sedang memeras keringat (bukan susu sapi ya…) mengumpulkan segala upaya, semangat dan tenaga yang dia punya dalam perhelatan adu panco gelap. Kali ini melawan Hery.

Mereka membentuk semacam arena yang melingkar. Masing-masing supporter maupun panchocheersleader mendukung andalannya. Auro dan aroma panas penuh semangat dari kubu masing-masing untuk  memenangkan jagoannya. Iwan menampakkan wajah penuh ketenangan dan kesantaian dalam menghadapi Hery. Sebagai juara bertahan panco antar bangku di kelas tersebut berusaha bersikap tenang. Berbeda 180 derajat dengan keadaan Hery. Dia dengan susah payah berupaya sekuat tenaga untuk menaklukkan Iwan. Nafasnya berhembus satu persatu. Terengah-engah dan payah. Butir-butiran keringan  mulai bercucuran membasahai beberapa bidang badannya.

“Ayo, terus Wan, masalah lo kalah si ceking Hery’ Tulangnya saja seperti papan cucian. Dia nggak ada apa-apanya!!” Teriak Faisol memberi semangat membara. “Jangan sampai kalah dong. Krdibilitasmu bisa anjlok.”

“Tenang Sol. Emang tampang saya tampang kalah. Nggak lah ya.”

“Ayon Ri! Hancurkan si juara bertahan Bila perlu sampai mampuih. Anggap saja  Iwan itu gentong air. Ayo Her, jangan malu-maluin bangsa Afrika.”dukung Apto sengit.

“Sialan kamu To. Kalau mau support yg bener. Tapi jangan fitnah dong saya dibilangin dari Afrika.

Dengan mudah bagi Iwan Mukejenuh untuk menaklukkan Hery Slim. Pergelangan tangan milik Hery agak kebiru-biruan terkulai lunglai. Sebagai tanda perjalanan aliran darahnya belum lancar. Walaupun begitu Hery tidak ingin menunjukkan muka kalahnya. Dia tetap tegar dan tersenyum. Tentu saja Hery tidak mau harga dirinya jatuh di hadapan siswi-siswi kelas 1.3. Bisa-bisa dia dicemooh dan diperolok-olok. Rasa sakitnya yang sedikit-dikit mulai mendera ditahannya kuat-kuat. Sudah menjadi rahasia umum kalau adu panco barusan terjadi adalah kurang fair alias tidak seimbang.  Hery yang berbadan tipis alias kurus nggak keurus itu harus dipaksa melawan Iwan. Terang saja Hery langusng keok dan KO cepat.

“Herryy. Tadi kamu sarapan apa sih..” Tanya Iqbal.

Hery hanya mesem-mesem. Buru-buru dia ngeluyur ke toilet. Alasannya sudah kebelet. Padahal dia mau mengaduh sepuasnya tanpa orang yang mengetahuinya.

“Makan serbuk gergaji ya?” Ledek Iwan jumawa.”Hayo siapa lagi lawan berikutnya. Ingat! Sebelum turun lapangan dicek dulu ya tenaganya. Kira-kira kalau tidak sanggup melawan saya mundur saja. Jangan kayak si Herry. Tidak kuat tapi belagak jago dipaksakan. Jadi begini akibatnya.”

Tiba-tiab muncul Andre unjuk kebolehan.

“Nyali lu gede juga Ndre..”Sambut Iwan sinis.

“Begini-begini saya sudah beberapa kali nonton film Silvester Stallone..” ucap Andre seraya mngyingsingkan lengan bajunya hingga kelihatannya ujung ketiaknya.

“Jangan ketinggian gulung bajunya Nde. Baunya kurang sedap. Ketek jelek kamu kelihatan.” Protes Iwan.

“Oh ya tadi kamu belajar dari film Stallone ya. Saya tebak pasti film ‘OVER THE TOP’. Pilem tentang seorang plonco.. eh pemanco.

“Enak saja. Sembarangan jawabnya. Asal njeplak aja. Salah.”ujar Andre kesal.

“Lantas film apa dong…”

“Basic Insticn.”

“Ancurminah. Anjriiit!”

Pinsa Anu Gerah, Iqbalik, Akhyar kembali bersorak-sorak sambil bertepuk tangan memberi semangat kepada kedua petarung panco tersebut.

Mari kita beralih ke meja lain. Ternyata sedang berlangsung pertandingan catur yang cukup….santai antara master Tekya dan master Agus Kecik. Akan tetapi keduanya menunjukkan muka tegang. Tekya dengan gaya bertopang dagu. Sedangkan Agus Kecil bertopeng monyet…hihi. Biar dikira penonton sedang memeras otak.

“Skakt Mamat!!” Pekik Tekya tertahan. Agus Kecik agak terpelongo. Mata terpelotot. Lidahnya menjulur. “ Ayo kamu mau kabur kemana? Raja kamu telah terkepung. Silahkan dik Agus yang kecik mengalah saja.” Tekya melonjak kegirangan seakan sudah yakin bakal menang. “Jalan kamu semua sudah ketutup. Kiri kana ada ruko. Hehehe.”

“Eit..tunggu dulu dong. Kasih kesempatan saya mencari jalan dan siasat.” Agus kecik ngotot belum mau mengaku kalah. Dia berusaha memandangi satu persatu buah catur-caturnya. Siapa tahu masih mempunyai peluang. Walaupun keadaan sang raja sedang gawat dan kritis toh masih ada mentri, benteng, luncuk dan sejumlah pion.

“Tenang sajalah. Masih banyak jalan menuju kecurangan..” Bisik Agus Kecik sambil berbisik kepada Choy.

“Apa kamu bilang curang? Pantesss…Ternyata…Perasaan awak tadi mengatakan pasti ada yg tidak beres.”

“Tadi itu iya sih. Sekarang murni lho..Giliran saya kan sekarang, skak ster hayooo…”ucap Tekya santai tanpa dosa.

“Steer? Mana ada ster? Ulang! Ulang! Itu tadi nggak syah!” Faisol mengamuk pertanda dia tak diterima.

“KEDOBRAAAKKKK!!!” Tak ayal lagi buah-buah catur berjatuhan dan berhamburan. Entah kenapa siapa yang berbuat? Entah siapa gerangan yang menganggu dan berbuat usil. Wow usult punya usut ternyata rupanya si Faisol yang membuat ulah. Kesambet jin Afrika kali…Balasannya rambut Faisol yang keriting itu diacak-acak oleh Tekya. AJAIB! Rambut Faisol tak berubah sedikitpun. Catur is finish.

Keributan tak berujung itu benar-benar membuat bising. Tak beda seperti keadaan di pasar kaget yang heboh oleh teriak-teriakan para pedagang selagi menawarkan barang loakannya. Otomatis beberapa kelas tetangga merasa terusik kondisi belajar mereka. Akibatnya suara para guru yang menerangkan pelajar berteriak sampai suara mereka parau tidak terdengar sama sekali ke telinga para murid.  Dulu, memang semua guru sudah pada maklum terhadap kelas 1-3 yang basicnya susah diatur dan dijelimetin dengan nasehat-nasehat usang. Badungnya sudah tidak ketulungan lagi. Tapi sekarang, aliran darah mereka sudah terlanjur naik sampai kepala. Istilah lain  sudah naik pitam.

“Aduh!” Ada yang tahu kelas mana itu yang bikin ribu?!” Tiba-tibal Ibu Wiwi melontarkan sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab dengan menguras otak kanan maupun kiri.

“Kelas satuuu tigaaaa Buuu.!!!” Teriak ana-anak murid kelas 1-5 secara serempak seperti koor paduan suara buaya. Mirip orkes simponi little pony.

“Lihatlah anak-anak, omel Bu Wiwi yang kebetulan memandu pelajaran bahasa Inggris di kelas 1-5, mendengar keributan itu.”Mirip anak-anak bebek kehilangan video game. Tak patut kaliah contoh. Untungnya rata-rata mereka berotak encer. Yang bernilai positif boleh kita contoh. Kenakalannya jangan ya. Sungguh memalukan. Terlalu…”

“Pada mau bertelor kali Bu. “Celetuk Udin Zabriks dari bangku paling belakang.

Mari kita kembali melihat keadaan kelas 1-3 yang saat ini menjadi sorotan para guru. Kegaduhan sudah mereda. Faisol dan Tekya yang tadi bertikai gara-gara bermain catur sudah didamaikan oleh teman-teman mereka sendiri.

Fatimah, Endah beserta Baba sedang asik membuka lembar demi lembar sebuah majalah remaja yang terbit edisi bulanan. Nama majalahnya Mode. Berita-berita sudah ketahuan yaitu sekitar mode dan fashion. Selain itu juga memamerkan model-mode muda yang kece-kece dan klimis-klimis. Sesekali mata mereka melotot sewaktu melihat gambar-gambar sosok-sosok para cover boy yang bertampang macho berpose bertelanjang dada di pinggir empang ikan lele. Pokoknya memakan satu halaman penuh.

“Waduh, kapan ye Ogut dapet lanang belagak-belagak mak ini (kapan ya saya dapat cowok cakep-cekep seperti ini) Oh betapa senengnya seandainya kelak dapat pendamping hidup itu sekeren ini. Betapa indah dan berwarnanya dunia. Bisa-bisa ogut betah dan sebulan tidak pernah keluar rumah.”

“Ngapain? Kali bersih-bersihin rumah ya? Ngepel dan nyapu gitu?” Tanya Endah mirip cewek bolot.

“Hey..emang kita pasangan babu apa? Maksudnya kami akan memadu kasih sepanjang hari dan malam. Lokasinya tidak perlu jauh-jauh. Kamar mandi kamar tidur,  kamar tidur kamar mandi.

“Idih, maunya! Emang kalau menikah itu lepas dari kewajiban urusan rumah tangga apa?!” Potong Baba, “Nih kalau saya nih Fatimeh. Kamu dengerin yee. Cowok pendamping aku tidak perlu terlalu good looking atau handsome tampangnya gitu. Tidak perlu muluk-muluk deh. Emang cerita dul muluk. Kepribadian dan akhlak nomor wahid. Terus dia merupakan laki-laki yang bertanggungjawab sebagai kepala rumah tangga. Menjadi imam bagi keluarga. Mempunyai pekerjaan yang mapan. Setia, pengertian, penyayang, sedikit kocak dan….cinta aku sampe dunia memisahkan kita.”

“Apanya yang nggak muluk- muluk. Semua kriteriaku sudah kamu borong semua Baba..” Ketus Endah. “ Saya sepakat sama kamu, buat jadiin cowok kalau bisa cakep. Tapi kalau suami tidak perlu cakep nanti sudah menjaganya. “

“Terserah kaliahlah. Kalau ogut mnasalah tampang sangat penting karena….” ucap Fatimah.

“…Sudahlah, Aku tahu alasannya. Untuk memperbaiki keturunan kan?” Samber Baba spontan.

Fatima sangat dongkol mendengarnya. “ Huh…memang betul sih..” katanya dalam hati. H rasanya Fatimah ingin meninju muka si Baba Holiang. Dasar terlalu jujur!

“Heh Baba Holiang! Kamu itu sudah gila dan aneh ya. Mukamu itu sudah kayak sendal jepit malah mencari cowok jelek sih. Apa kamu tidak kasihan sama anakmu kelak. Merana banget punya orangtua bermuka di bawah standar. Hehe…” Ledek Fatima sambil terkekeh-kekeh.

“Ponten seratus buat Fatimah. “ Endah menimpali. “Make sense itu. Cewek baskom cocoknya sama cowok baskom juga. Hua hua hua.”

“Bukan begitu mulut sumur! Cuka para! Maksud saya ..seumpama dikasih Tuhan cowok jelek kayak Tom Cruise atau Andrew Shue. Saya tidak mungkin menolak.” Baba ngeles.

Bisa ditebak setelah itu rambut Baba diacak-acak.

Dimeja depan, Arleini terlibat percakapan seru dengan Eveline. Biasa, maklum sedang menggosip. Gossip is the sip. Makin digosok makin siip deh! Di deretan bangku belakang keduanya, ada sosok Debby dan Novel menjadi pendengar setia setiap curahan gosip. Yang namanya pendengar hanya pasang kuping lebar-lebar, terus mata diplototin pertanda gosip itu seru dan juga mulut melongo sambil terbuka lebar-lebar.

“Vel..” Arleini membuka bumbu gosip baru.” Semalam Aku rasanya memergoki Bapakmu nongol di televisi deh.”

“Oh ya. Ah masak? Di tipi mana?”

“RCTI”

“RCTI?? Ooh mungkin juga. Belakangan ini Papa sibuk sekali. Sering pulang sampai larut malam sih. Ternyata kami juga sekeluarga baru tahu Papa tuh jago mengamati pemain bola. Dulu dia jago tarkam. Kalau tidak salah di posisi sebagai sticker atau gelandangan kekinian. Sorry saya lupa. Oleh karena itulah dia kerap diminta sebagai komentator khusus sepak bola.”

“Huh, kalo itu saya sudah tahu. Sebelum kamu lahir ke dunia ini malah..Tapi kasli ini beda lho Vel..Aku lihat dia stasiun yang beda. Nggak biasanya gitu.”

“Tunggu dulu. Aku belum paham maksudmu. Ohhh..Kamu melihat Papaku di stasiun Kereta Api ya?”

“Eh bukan. “

“Habis stasiun mana lagi. Stasiun kereta bukan. Stasiun pesawat kali ya?”

“Ngawur kamu.”

“Memangnya disaluran mana dong? Kok Aku sampai tidak tahu. AYO dong apa nama acaranya?” Eveline menampakkan wajah polos bercampur bingung.

“Di acara ini…eee…kontes ‘academy funny face award’!!”

“Goblok..Nggak lucu ah. Ngaco kamu Len!”

Semua tertawa terkekeh kekeh.

“Tuuhh kan, apa kubilang. Lucu kan Bapakmu?Buktinya  kalian pada ketawa. Hua hua.” Leni puas sekali ledekannya berhasil menjerat Eveline. Termasuk Debby dan Novel.

Kali ini Debby yang pingin cerita gosip tentang dirinya sendiri. Debby tidak mau kalah rupanya.

“Ayo sekarang gantian dong. Kalian dengerin curhatanku..” Rengek Debby.

“Ihh..Tidak mau denger curhat ah, Deb.”ujar Leni ketus. “Omongan kita ini hari khus gosip doang bukan cuthat Deb.”

“Curang deh. Curhatku ini ada bumbu gosipnya tau?!” Debby tidak patah semangat. Dia terus ingin bercerita.

“Ya udah deh. Kita dengerin aja kasihan kan Len. Masak temen sekelas curhat kita cuwekin.” Bela Novelita.

“Iya Len. Lanjutkan Deb.” Eveline juga memberi kans pada Debby.

“Baik. Saya akan mulai bercerita…”Belum lagi Debby memulai babak ceritanya sudah dipotong Arleini.

“Pada suatu hari hiduplah sang kancil…”Samber Leni.

“Ahhh Leni. Tidak begitu-begitu amat lagi. Goblok. Memang dongeng sebekum tidur.” Protes Debby kesal.

Sekarang gantian Eveline, Arleini dan Novelita menjadi pendengar setia.

“Nomong-ngomong Ogud lagi sedih nih. Pokoknya sedang dirundung sedih berat nan mendalam. Pilu dan dak kolu (nggak kuat).” Tiba-tiba roman wajah Debby berubah lemas, letih dan lunglay. Tampak sedikit guratan-guratan kepedihan yang berujung pada kepedihan. Juga kecewa.

“Sedih karena apa Deb? Diputus pacar ya? Cup cup sudahlah jangan sedih..” Arleini langsung merasa iba. “Lelaki masih banyak kok di pasar 16 ilir. Ceritakanlah Deb. Siapa tahu kami bisa membantumu.”

“Seriusan Deb?!” Novelita sedikit terperanjat sembari terbelalak.

“Terrusss Deb…”Pancing Eveline tidak sabaran bercampu penasaran.

Debby mulai bersabda…”Begini ceritanya. Kalian kan sudah tahu. Aku kan sudah lumayan lama berpacaran dengan Edot..”

“Berapa lama Deb?” Tanya Leini antusias.

“Lama sih. Sudah 7 hari gitu..”

“Kalo baru tujuah hari belum lama lagi. Baru seumur jagung bakar itu mah. Apalagi sama Bandot…”Celetuk Novelita.

“Novel! Awas kamu. Nama pacarku Edot bukan bandot. Kedengerennya nggak enak tahu?!”

“Iyo iyo. Sudah, lanjutkelah. “Novelita gregetan.

“Nah, hubungan kami ini telah diketahui oleh orangtuanya Edot. Dan mereka tidak ada masalah yang berarti. Kami telah direstui untuk menjadi teman akrab alias pacaran. Dan pesan orangtuanya, asal masih batas wajar dan normal. Kami diminta tetap menjaga diri masing-masing. Bayangkan sampai segitunya pesannya. Bagiku itu gimana gitu dan sakral dan kramat banget.”

Untuk sementara teman-temannya Debby pada berdecak kagum. Sedikit terharu.

Kemudian Debby melanjutkan kisahnya…”Nah…disaat kedua orangtua telah sepakat dan harmonis. Tiba-tiba tidak ada kabut tidak ada asap ada seserorang yang menetang hubungan kami berdua yang sudah berjalan manis ini.  Makhluk satu ini yang menjadi penyebab dan pangkal masalahnya. Dia dia..tega tidak merestui hubungan kami…”Debby sedikit menunduk. Ada nada getir di nada suaranya. Untuk beberapa detik dia menghela nafas. Menghirup nafas dalam dalam lalu menghembuskannya lewat pantat. Idiihhh!

“ Waduh gawat Deb!” Pekik Eveline.

“Pasti dari paman bibik, tante om atau dari adik atau kakak? Atau saudara jaunya ya?” Arleini menduga-duga.”Siapa sih. Ya udah kita tonjok aja Deb.”

“Oh so sad and so bad…” rintih Novelita turut prihatin.”

“Nah, kalian mau tahu siapa orangnya?” Tanya Debby dengan nada penuh kecewa.

“Iya Deb, kasih tahu kepada sahabatmu ini siapa nama cecunguk itu?” Eveline langsung naik pitam. Amarahnya memuncak. Dia langsung menyingsingkan lengan bajunya. Sepertinya darah mudanya mengalir kencang sekali. Ingin rasanya dia menghantam orang yang menjadi penghalang jalinan kasih teman sekelasnya itu. Rasa kesetiakawanannya boleh juga.

“Serempak mereka menyodrokan kepalanya masing agar mendekat kepada mulut Debby. Sepertinya Debby hendak berbisik. Kelihatannya dari mulutnya yang sedikit dower ingin berbicara. Lipstik berwarna jingga yang melekat di bibirnya dibasah-basahin dengan ujung lidahnya. Jadi ada efek mengkilap dan cerah benderah. Debby mulai memberi kode agar teman-temannya lebih mendekat lagi.

“S-siapa Deb? Aku nggak dengar kamu tadi ngomong apa?” Tukas Eveline.

“Yeee…Orang belum ngomong kok.” Bela Debby sambil memelintir bibirnya yang bagian bawah. Mirip nenek lemper.

“Ayo dong beri tahu. Cepetan. Nanti keburu bel berbunyi.” Arleini nyerocos penuh nafsyu.

“NAMANYA CEK ODAH MARODAH!!” Cetus Debby.

“NAH! Siapa pula itu?”Tanya Arleini, Eveline dan Novelita tersintak serempak.

“BABUNYA YANG BAHENOL DAN GANJEN!” HAHAHAHA…”Debby tidak sanggup lagi menahan ketawanya yang meledak-ledak. Saking puasnya tertawa, mata Debby nyaris mengeluarkan air mata dan terkentut-kentut. Untung persoalan yang satu ini dia berusaha untuk menahannya. Demi gengsi dan harga diri. Ketiga orang temannya baru sadar telah dikerjain oleh Debby. Mereka sewot bukan main.

“SIALAAANNNN KAMU DEBBY!!!” Tak ampun lagi. Kini rambut Debby yang semula dikucir pita telah awut-awutan diacak-acak jadi tidak karuan.

Di sela jam pelajaran menggambar  yang kosong itu diisi oleh anak-anak kelas 1.3 dengan canda ria dan keributan-keributan yang tak berarti. Mereka beranggapan kapan lagi dapat bertindak ‘free play in the class’. Lantas mereka segera bersuka ria. Mengenyahkan semua kepenatan otak mereka. Karena kesempatan jarang datang dua kali alias berentetan. Makanya musti dimanfaatkan sebaik-baiknya. Walaupun tampak sedikit buruk.

Dalam hati mereka mengucap syukur kepada Tuhan sang Pencipta karena hari ini telah dianugerahkan guyuran hujan membasahi bumi. ‘Hujan awet’ istilah mereka alias hujan yang belum berhenti walau menjelang bubaran sekolah. Hujan yang menyamankan dan menyejukkan hati.

Apabila hujan deras yang terus turun, maka akan mengakibatkan banjir. Makan jangalah kita menyalahkan sang hujan. Berarti kita berpransangka jelek kepada sang Pencipta. Tak boleh begitu ya. Kadang tanpa disadari kita mengumpat-umpat hujan. Seakan dia sebagai tersangkan yang harus dihukum. Padahal kita tahu keasalahn pasti ada pada manusia. Iya toh. Banjir terjadi karena siapa? Siapa lagi kalau bukan manusia yang suka membuang sampah seenaknya. Menebang pohon sesukanya. Memanfaatkan lahan yang semestinya untuk resapan air malah mendirikan mall, perumahan dan pertokoan. Mbo ya disulap menjadi taman yang asri dan rimbun. Sehiingga tiap butiran hujan yang jatuh. Sang bumipun siap menyambutnya penuh suka cita.

Tekya melongok ke luar jendela. Dari lantai tiga seperti  menyimpan pemandangan yang lumayan. Sudah kodratnya ketika sedang di atas biasanya melihat ke atasnya lagi. Setelah itu baru ke bawah. Kemudian pandangan diarahkan ke seberang jalan. Terlihat beberapa orang yang tidak membawa payung berlarian mencari tempat berteduh. Halte adalah menjadi sasaran empuk dibanding pohon. Lalu taman hijau milik sekolah yang mulai menggenang. Kolam ikan pun nyaris meluber karena tidak sanggung menampung serangan air hujan. Sejenak dilihatnya genteng sekolah yang kelihatan bersih tersapu hujan. Butiran air itu seperti berebut untuk meluncur menuju talang air.

“Terima kasih ya Tuhan. Aku suka sekali cuaca hari ini. Semula aku menuduh Tuhan. Tadi sih benar menyebalkan sekali. Kini hatiku senang.” Bathin Tekya. Mukanya sumringah sambil memberikan senyum terbaiknya.

Suasana hati Tekya berbanding terbalik dengan Ichsan TWJ, sang ketua kelas. Dia sudah berusaha dari tadi untuk menenangkan suasana kelas. Berusaha untuk mengajak semua teman sekelasnya untuk duduk manis, tidak ribut dan tertib. Namun bagi Ichsan TWEJ terlalu sulit untuk menyetir ataupun mengkoordinir puluhan orang dengan niat yang berbeda. Keseimpulannya adalah : Dia gagal mengontrol dan mengatasi kegaduhan demi kegaduhan. Pernah terlintas di benaknya untuk mencoba marah dan galak sebuas beruang kutub. Malah teman-teman seperti  Agus Blepotan dan Yudo Gempul tidak mempan dan tak perduli. Mereka lebih galak faktanya. Ya ampun. Ichsan ingin segera meletakkan jabatan nirlabanya sebagai ketua kelas sebelum waktunya. Mungkin lebih cepat lebuh baik. Bukannya dia tak pernah mencoba mengumpulkan semua uneg-uneg dan kemarahannya. Ketika hendak memuntahkan nafsu marah itu…Sudah sih. Hasilnya dia dicemplungin ke dalam bak sampah yang besar di belakang sekolah. Walaupun bagi mereka itu bercanda. Bagi Ichsan itu sudah keterlaluan. Tapi itu dulu, sebelum mereka akrab. Namun setelah akrab….makin parah. Hehe. Habis ketika sedang marah Ichsan lebih mirip pelawak Timbul Srimulat. Habis deh dia menjadi bahan olok-olokan.

Ichsan memutuskan untuk bertindak kalem saja. SDS. Selamatkan diri sendiri.

Ajaibnya, ketika waktu menunjukkan jam istirahat (keluar main), suasana kelas 1.3 makin mengglegar. Ritme kegaduhan tetap terjaga. Out of control again. Pasalnya Bu Sapi’i belum juga kelihatan daun telinganya. Entah terlambat memasuki kelas atau tidak mengajar. Masih simpang siur. Masih plintat plintut. Intonasi nada suara para siswa disini masih meninggi. Dobly stereo saja kalah berisik. Tiba-tiba diawali sebuah teriakan keras melengking dan nyaring membahana mengisi seluruh ruang kelas. Pastinya membikin kaget semua orang. Sumber suara tersebut dari mulut seorang siswa cewek bernama Sridimitha Rajni Kutacane Tunjahe-jahe (oayayai ini nama apa gerbong kereta api). Dia merupakan cewek blasteran Aceh-India. Si Sridimitha sedang dilanda ketakutan tingkat akut. Dia sedang berlari kencang menelusuri koridor kelas di lantai tiga. Derap kakinya mengundang beberapa pasang mata. Yang spontan nongol dari balik jendela kaca kelas. Semua pada penasaran. Ada apakah gerangan yang terjadi? Otomotas menjadi tontotan gratis kelaslain. Mungkinkah si sri melihat penampakan hantu wewe atau nini towok atau setan alas kaki? Namun…? Tidak lama kemudian muncullah penampakan seorang manusia di belakang Sridimitha. Orang itu terus mengejar untuk menyusul korbannya.

Usut punya usut ternyata biang keroknya adalah Agus Blepotan. Dia berusaha mengisengi Sridimitha dengan menakut-nakuti dengan ular-luran karet. Sedangkan sang cewek sudah tampak pucat mukanya. Dari hitam manis menjadi putih manis. Nafasnya pun sudah tersengal-sengal. Matanya yang bulat membesar. Untunglah, sang pahlawan yang tengah melamun bernama Ichsan TWEJ dengan sigap dan refleks menengahi kedua anak kelasnya itu.

“Came on guy. Comeon Gus! Are you crazy?”Ichsan membentas Agus secara refleks. Akhirnya emosinya yang tak tahan menyaksikan perempuan dianiaya ringan.

Agus tersentak kaget. “Apa San. Aku hanya bercanda doang. Tak usahlah kau teriak macam tu.” Agus langsung mengantongi ular mainannya ke dalam saku.

“Mitha! Sudah aman kok. Hanya ular mainan!”Teriak Ichsan TWEJ memanggil Sridimitha kencang. “Gus, kamu kan sudah gede. Masak bercanda seperti anak di playgroup sih. Kamu semestinya melindungi cewek dong. Bukan menakuti seperti tadi. Ayo Gus, minta maaf secara jantan.”

Agus sebetulnya rada gengsian. Apalagi sampai dibentak oleh seorang Ichsan. Seorang cowok culun berkacamata tebal dan kutu buku pula. Kebetulan menjadi ketua kelasnya. Dan harus dihormati. Dalam hati Agus berkata beraninya dia membentak-bentak aku. Agus untuk kali ini dia mencoba menuruti perintah sang ketua kelas.

“Bukan begitu Gus. Aku minta maaf kalau tadi membuatmu kaget. Karena tadi aku spontan saja. Karena kaget bukan main mendengar suara histeris wanita.”

Ichsan cepat-cepat menarik tangan Agus disaat melihat Sridimitha keluar dari persembunyiannya. Dia keluar dibalik ruang ganti pakaian. Mitha mendatangi secara mengendap-endap. Masih ada perasaan takut dan jengkel. Ingin rasanya dia menampar pipi si Agus keras-keras. Atau dia juag bernafsu ingin menarik rambutnya si Agus geblek itu.

“Awas kamu Gus! Kelewatan ya. Kuadukan kau ke kepala sekolah nanti baru tahu rasa.” Ancam Mitha serius.

“Sorry Mitha. Janganlah kau adukan aku. Jangan karena hanya ular karet aku sampai diskors. Aku Cuma ingin memamerkan ular kobra karet ini saja kok. Aku beli di bawah jembatan Ampera. Terus si Mitha kaget dan kabur. Ulaar karet doang, Mit..” Ucap Agus lirih dan pelan sekali. Mukanya mencoba untuk cengengesan. Agak tersedak.

“Agus bohong San. Jangan percaya dia.”Bantah Sridimitha bergidik.”

“Tenang Mit. Aku percaya Tuhan kok, bukan Agus.” Nada Ichsan TWEJ sedikit bercanda.

“Dia bukan memamerkan ular itu.” Lanjut Mitha lagi. “Aku yakin dia sengaja menakut-nakuti Aku karena tidak jadi memperkenalkan dia dengan Evi. Agus naksir Evi, San”

“Mitha…Evi mana?” Elak Agus.” Siapa yang mau kenalan. Jangan kau bongkar pula soal si Evi tu.”

“Evi? Anak mana?” Tanya Ichsan.

“Evi itu…Anaknya yang berkacamata tebal kayak kamu. Dia jago bahasa Inggris juga.” Jawab Mitha.

“Oh ya?” Ichsan agak terperangah. Dia memang agak takjub dengan cewek yang jago bahasa Inggris. Biar nyambung kalau diajak coversation.

“Kenapa San?” Tanya Agus melotot. Ada nada cemburu dik kata-katamu. “Masalahku saja belum beres. Aku dulu kenalan baru kamu.”

“Oke, habis itu giliran saya ya,”harap Ichsan TWEJ seraya mengiba.

Agus dan Sridimitha memandang aneh ke arah sang ketua kelas, lalu bertanya  serempak : “ADA DENGANMU ICHSAN?!”

Ichsan hanya bisa terpelongo. Sepertinya dia bertindak di bawah alam sadar.

“Huh! Kok ya laki-laki dimana aja sama ya! Nggak bisa lihat barang baru. Cewek licin sedikit. Dasar mata belang.”

“Joking, joking Sri. Kamu menanggapinya serius sekali. Kayaknya Agus bukannya tipenya Evi deh..”ceplos Ichsan.

“Jaga mulutmu, San…” Ancam Agus dengan gigi gemelutuk mirip jambu klutuk mengutuk Ichsan jadi kutuk buku.

Sepulang sekolah gerombolan anak-anak kelas 1.3 berbondong-bondong menyerbu rumahnya Yudi. Apalagi kalau bukan menyicipin penganan imlek buatan Mamanya Rudi. Xong Chi Fat choy!