MASA SMA MASA BODO? DALAM : KEJUTAN PENTING TIDAK PENTING DI PESTA HARI LAHIR EVEL…

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

KEJUTAN PENTING TIDAK PENTING DI PESTA HARI LAHIR  EVEL…

Oleh : Deddy Azwar

PESTA ULTAH EVEL SARAT URAT SARAF

Beberapa terakhir ini, salah satu temen cewek sekelas Tekya, sesosok Eveline Sihombing  namanya, kelihatan super sibuk sekali. Mondar mandir seperti bis kawasan Trans Musi trayek Unsri-Indralaya. Entahlah apa yang sedang menganggu pikirannya. Evel, gadis blasteran Jerman-Palembang-Batak ini mempunya wajah yang cukup lumayan cakep. Dan tentu saja selalu men

jadi incaran siswa-siswa gelap mata. Terlebih lagi untuk mereka yang masih menyandang gelar jomblo.Jangankan dari kalangan kelas internal, kelas eksternalpun banyak yang antre yang menggoda. Pokoknya Evel merupakan salah satu aset dari kelas 1.3 yang wajib dipelihara dan dilestarikan sekaligus diamankan dari siswa-siswa hidung belang.

Evel…Ayo kalian bisa menebak tidak bagaimana sih orangnya? Logikanya jalan dong, ditilik dari namanya saja mustinya kalian sudah jago membayangkan bagaimana rupa dan bentuk orangnya. Betul kan…? Modern dan milenial gitu atau imperial dan kolonial ya? Tidak seperti makhluk yang menyandang nama Faisol yang kuno cendrung kolonial. Cewek tergolong peranankan indo sih…Coba anda bayangkan sendiri. Bentuk wajahnya yang lonjong, dagunya juga lancip berbelah pula di tengahnya, apalagi ya? Oh ya hidungnya mancung. Mirip dagu Timothy Dalton..(kok cowok? Belum nemu siapa yaa kalau artis pemilik dagu berbelah berkelamin perempuan….oh iya tepat sekali yaitunSophia Latjuba kalee…). Terus…Evel memiliki rambut yang panjang tebal dan agak kepirang-pirangan. Dia tidak terlalu dipusingkan dalam hal perawatan rambutnya. Simple saja, cukup ditarik ke belakang, dibiarkan dan diikat seadanya mirip gadis indian pada umumnya. Alisnya nan hitam merambat bak gajah beriring? Matanya nan sayu dan redup dengan bola mata berwarna kecoklat-coklatan. Membius semua cowok.

Usut punya usut, si Evel ternyata punya benang kusut eh sebentar lagi mau berulang tahun. Tinggal menghitung hari saja usianya akan bertambah genap 16 tahun. Sudah gede lagi…Dia berniat memperingati dan merayakan dimana hari dia dibrojolin dari perut Mamanya. Evel lahir pada salah satu puskesmas di sana, bertepatan ketika Papanya sedang bertugas di Jerman. Tepatnya di Munchen. Di sebuah kota terbesar dimana terdapat klub sepakbola termasyhur di kota tersebut bernama Bayer Munchen. Ada beberapa orang anak kelas 1.3 menganggumi klub ini. Eh kok jadi ngelantur ke tema sepakbolah yaaa..

Kembali ke laptop…Tentu saja Evel berniat merayakan hari istimewamnya itu dengan sebuah perayaan pesta khusus, ya dilangsungkan cukup di rumahnya saja. Biar lebih akrab dan terkesan kekeluargaan.  Rencananya Evel hanya mengundang semua teman sekelas dan beberapa gelintir teman dekat rumah. Tradisi ini sudah terjaga sejak dia lahir. Dari tahun ke tahun selalu dirayakan. Baik perayaan berskala kecil, sederhana maupun mewah. Evel sudah pernah mengalami semua tahapan itu. Terlebih kagi di saat karier Papanya sedang jaya-jayanya. Itu terjadi pada beberapa tahun silam. Semua keluarga Pak Sihombing, termasuk Evel pasti pernah mengecap kisah-kisah penuh kesan dan bermakna. Dan akan selalu teringat sepanjang masa.

Kalau untuk menyewa gedung pertemuan yang memuat banyak tamu, pas lihat tabungannya tidak memadai. Apalagi untuk membooking lounge diskotik. Nggak kebayang deh kayaknya…Lagipula  gaya banget untuk sebagai seorang pelajar sekolah. Beda halnya kalau dirinya bertitel selebriti. Untuk meminta traktir Papa atau Mama, Evel agak segan. Takut merepotkan mereka.

Setelah  mengadakan rapat keluarga, akhirnya ulang tahun Evel telah disetujui. Dan disepakati lokasi pesta di rumah sendiri. Sebab tetangga menolak untuk dipinjami rumah mereka. Haha. Pihak keluarga akan membentuk panitia kecil serta akan melibatkan beberapa kerabat dekat. Seperti tante Butet dan abang Ucok juga. Papa menolak keras pagar bagus. Iya eyalah…emang mau mantenan?!

“Vel, dana dari Papa dan Mama hanya segitu. Kamu cukup-cukupi aja. Kecuali kamu mau nambahin dari tabunganmu sendiri. Papa sarankan pestanya sederhana saja. Jadi kalau bisa tidak menganggu gugat duitmu. Oh ya, ada sumbangan juga dari salon kakakmu. Yeah…walaupun tidak begitu membludak. Tinggal kamu bagaimanan memanage dan mengkalkulasinya.”

“Iya Vel. Urusan konsumsi serahkan saja ke Mama. Nanti Mama yang tangani semua. Insya Allah Mama sanggup kok. Kita tidak perlu memesan ke Bakery manapun. Jadi kita bisa menghemat pengeluaran. Mama sempat cari-cari info ke toko kue di pasar. Semua harga barang pokok pada naik. Otomatis berimbas juga ke mereka. Beberapa kue langganan mengeluh. Walaupun berat hati mereka terpaksa harus menaikkan harga pula. ” Mama Evel menimpali.

“Iya. Makasih Mama.” Ucap Evel pelan. Walaupun ada sedikit nada kecewa dari roman wajahnya yang sayu. Akan tetapi dia akan mencoba berbesar hati untuk menerima kesederhanaan pestanya. Evel berusaha bersikap dewasa untuk memaklumi semua itu.

“Sabar ya adikku cakep…”Bisikan halus keluar dari kakak tertuanya yang bertugas mengelola salon milik keluarga. “Kebetulan pesta ulang tahunmu kali ini giliran kita sedang tidak mempunyai banyak uang. So super simple. So sederhana banget. Menurut kakak ini kali pertama orangtua kita tidak dapat membantu banyak dalam soal keuangan. Tidak seperti biasanya. Dulu kita masih mampu menyewa restoran, gedung pertemuan, cottage bahkan lounge sebuah hotel. Toh dulu semua anaknya telah puas merasakannya. Adakalanya kita berada pada posisi yang tidak kita inginkan. Kita harus belajar ikhlas. Sejak kecil, pada saat kita masih culun-culun, rezeki orangtua kita masih lancar jaya. Dahulu bisnis salon sedang booming dan persaingan masih sedikit. Sekarang kamu lihat bisnis salon sudah banyak bermunculan kayak jamur. Beberapa tetangga kita juga mempunyai salon. Persaingan semakin ketat. Semakin kesini rezeki rada seret.”

Semua wejangan diterima Evel dengan lapang dada. Kepalanya semakin menunduk. Terbenam dalam kesedihan. Tidak dapat dipungkiri, dia merasa mendapat giliran ulang tahun yang apes. Evel berusaha tegar dan tidak larut dalam kecewaan. Evel berusaha memainkan mimik mukanya guna menahan tangis. Dia mencoba untuk menahan. Seandainya dia menangis, tentu akan membuat kedua orangtua dan kakak adiknya bersedih. Evel tidak ingin semua itu terjadi gara-gara ke-mewek-kannya.

“Kesimpulannya…”Kali ini Mama menutup pembicaraan..” Kita beli apa yang sepantasnya kita beli. Itulah yang kita butuhkan. Kita harus fokus dan jangan macam-macam. Kita juga harus hemat. Kamu jangan kawatir. Perkara masak bakso dan mie celor biar Mama yang tangani bersam bibik dan Kak Oval. Oh ya perlu ditambhakan penganan mpek-mpek juga kan?  Pasti temen-temenmu suka dan berebutan kayak tahun lalu. Haha..Mama dan bibik sampai kerepotan. Habis mereka minta tambah lagi.

Semua yang hadir dalam rapat tertawa dan tersenyum.

“Perabotan yang di ruang tamu dan ruang tengah…”Mama melanjutkan, “kita ungsikan sementara ke gudang dulu. Biar ruang tamu kita kesannya luas. Kue Mak Suba kan Mama tidak jago membuatnya. Bagaimana kalau kita pesan ke tante Ujuk? Murah kok..Evel setuju tidak?”

“Eve rasa tidak perlu Ma. Kan kata Mama sendiri kita harus hemat. Bagi Evek menurut Mama murah, harga itu mahal menurut Eve lho Ma.”

“Ya udah kalau tidak jadi.”

“Acara diskonya jadi nggak Ma?” Tanya Evel agak ragu.

“Apa? Disko Vel…” Nada Mama agak tinggi menjawab pertanyaan anaknya. “Mama rasa nggak perlua ada disko-diskoan Vel. Kamu lupa ya bahwa acara ultahmu kan diselenggarakan di rumah bukan di diskotik. Acara disko itu kan membutuhkan ruang yang besar. Rumah kitakan sempit.”

“Masak nggak ada acara joget-joget Ma? Tidak seru dong!” Protes Evel. Dengan sigap Mama menarik lengan Evel pelan. Lalu membenamkan kepala anaknya ke dadanya dengan lembut. Diciuminya rambut Evel dengan rasa sayang. Evel mengikuti saja walau mulanya agak kaget. Mama suka kadang bertindak sayangnya  berlebihan. Evel tidak dapat berkutik dan pasrah.

“Mau dong Ma..” Kak Vina iri melihat pemandangan tersebut. Ternyata semua anaknya mengerubungi Mama dengan manja dan centil.

“Idih..semua minta dipeluk. Ayo siapa lagi..?” Tantang Mama sambil melirik Papa yang mesem-mesem.

“Papa nggak mau ikutan nih..”Goda Evel.

“Nanti aja bagian Papa malam aja ya Ma. Haha.”Balas Papa.

Akan tetapi sepertinya problem disko ini belum habis sampai di situ aja. Pada keeseokan harinya, Evel habis pulang dari sekolah buru-buru mencari-cari Mama di dapur. “

“Ma…kata Neneng, kalau tidak ada cara disko nggak seru. Kuno..Tadi Evel diledek remaja yang tidak berjiwa muda, kolot dan kuno Ma.” Lapor Evel setelah menghadap Mama. Acara meracik bumbu baksonya diistirahatkila nan dulu. “Neneng siapa Vel?” Tanya Mama dengan sedikit sebel dan gemas. Gara-gara si Neneng, persoalan disko yang kemaren sudah clear menguak kagi, dan diungkit-ungkit kembali oleh Evel. Ingin rasanya Mama menyedot ubun-ubunnya temen Evel yang bernama Neneng itu dengan vacuum cleaner. Wow!

Belum habis kesabaran Mama. Tiba-tiba..

“Ada benernya juga Ma…”Sekonyong-konyong Papa nongol dari ruang tamu. Kebetulan hari ini Papa mengambil cuti kantor setelah beberapa malam rally lembur alias pulang malam. “Biar salah Ma. Namanya juga anak muda. Biarkalah mereka melepas energi dan semangat muda mereka dengan joget-joget dan berjingrak-jingkrak. Daripada nyewa diskotik. Asal tertib dan nggak ribut.”

“Papa lucu deh.” Adik Evel yang masih SMP ikut nyeletuk.”namanya juga ngedisko, pakai musik, joget-joget, jingkrak-jingkrak. Sudah pasti ribut dong Pa. Kalau adam ayem bukan disko namanya,tapi selamatan.”

Evel, sedari tadi hanya mematung saja. Menjadi pendengar setia.

“Bisa aja kok. Siapa bilang acara disko nggak bisa susasanya diciptakan hening dan sunyi . Coba aja di kuburan.”

Semua tertawa mendengar celetukan papa.

“PAPA!!” Papa ini apa-apaan sih. “ Mama Evel segera meredam suasana. “Disko itu kayak orang bego, Pap! Papa ingat ya?! Kok malah melanggar aturan yang telah kita sepakati kemaren. Tidak boleh Papa. Rumah ini sudah sempit. Ruangannya kurang mendukung. Lebih baik jangan deh. Nanti nenek-nenek tetangga kita pada jantungan mendengar hiruk pikuk dan hingar bingar.”

“Idiiih. Mama ini bagaimana sih. Mama sudah lupa ya. Kita pertama kali kan di diskotik. Pas ladies nigt pula. Lokasi itu menjadi tempat pelarian Mama waktu stress sama pelajaran sekolah.”

“Iya sih. Tapi karena rasa solider aja sama temenku minta dikawani. Tapi kami tidak macam-macam. Hanya mendengarkan musik dan melihat orang berjoget saja kok.”

“Saya sempat hampir menuduh Mama tergolong perempuan yang gimanaaa gituuuu.” Ujar Papa mesem-mesem.

Mama langsung menyubit pantat Papa dengan gemes. “Ternyata kalem dan pemalu kan..Pa?”

“Lain kali ingin menghilangkan kegalauan di toko buku dong. Atau ke bioskop kek, nonton film bollywood.” Ceplos Papa. Kalau dipikir perkataan Papa ada benarnya juga. Untungnya dahulu Mama tidak ketagihan ngedisko atau terjerumus ke dalam pergaulan remaja yang suka dugem.

Evel membawa dan mengantarkan sendiri undangan pesta ulang tahunnya. Baik kepada teman main dekat rumah, teman segank, sepupu dan tentu saja untuk teman-teman sekelasnya. Evel tidak ada keberanian untuk mengundang wali kelas dan para guru. Dia takut jadi bahan becandaan, bahan percontohan oleh gurunya apabila suasana perayaan ultahnya berlangsung kacau alias tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Belum lagi dibully oleh teman sekelas.

Evel, secara mandiri pula berbelanja berbagai perlengkapan ulang tahun, sepeti hiasan, balon dan pernak-pernik di departmen store. Tahu-tahu, pulangnya memborong belanjaan nan bejibun. Saking penuhnya keranjaan belanjannya, Evel sampai mencarter oplet lho. Bukan berarti Evel tidak punya teman yang bisa diajak belanja. Dia tidak mau merepotkan orang lain. Pendek kata, dia ogah mengandalkan orang lain. Dia risih jikalau anggaran dan konsep acara ulangtahunnya diketahui banyak orang. Sudah bukan suprise lagi toh!

Beberapa menjelang hari H, Evel kok merasakan sesuatu hal yang ganjil dengan suasana dalam kelas. Biasanya hiruk pikuk sekarang sunyi, tenang dan adem ayem. Dia memandangi satu persatu wajah-wajah teman sekelasnya yang mempunyai kesibukan masing-masing. Mereka tidak seperti saling mengenal. Ketika pagi hari dia memasuki kelas, menoleh ke arahnyapun tidak. Boro-boro ada yang menanyakan…”Vel, sudah sampai dimana persiapan ulang tahunmu?” Atau “Vel,..kalau nggak ada acara ngediskonya ditukar dengan acara sun-sunan dong?” Atau “Vel…aku masing bingung mau ngasih kado apa ya ke kamu.” Atau…”Vel, apa yang bisa kami bantu sebagai teman sekelasmu nin?” Dan… masih banyak lagi beraneka pertanyaan tanda keakraban yang Evel tunggu-tunggu dan harap-harap butuh.

Pokoknya, tak ada tanda kepanikan warga kelas 1.3 dalam menyambut ulang tahunnya yang tinggal menghitung hari. Terus terang dia seperti sangat dicuwekkan. Kejadian begini ini sungguh tidak mengenakkan. Dia bertanya-tanya ada apakah gerangan yang terjadi. Kesal bercampur dongkol. Serasa makan mpek-mpek tapi rasa jengkol..Apalagi ketika secara kebetulan Evel berpas-pasan dengan Arleni dan Fatimah. Dari kejauhan sudah ketebak mereka sudah pasti saling bertemu. Eh-eh ketika jarak sudah mulai berdekatan, Fatimah dan Arleni malah membelol melewati  jalan lain. Kenapa mereka sepertinya menghindari saya sih, pekik Evel dalam hati. Hampir saja Evel memanggil akan tetapi malah suara parau yang keluar.

Jangan-jangan teman-teman pada sekongkol mencuwekkanku dan memusuhiku gara-gara di perayaan ulang tahunnya acara joget diskonya dicoret dari daftar acara. Aneh bener ya. Dasar! Temen temenku kebanyakan menonton sinetron rupanya. Evel berkeyakinan temen-temen mungkin sedang menyiapkan sebuah kejutan untuknya di pesta hari ulang tahunnya nanti. Mana mungkin sih gara-gara soal sepele itu dapat merusak arti sebuah persahabatan.

FACE TO FACE IN THE CLASS

Pada keesokan paginya, Evel mencoba mengetes kembali kelakuan dari temen sekelasnya. Apakah ada perubahan atau malah lebih parah? Evel melangkahkan kakinya menuju ke arah kelas. Ketika jarak enam langkah menuju kelas Evel memperlambat gerakannya. Nyaris seperti berjingkrak-jingkrak. Mirip anak cewek habis pulang ngedugem kemalaman memasuki rumah.  Sesampai di kelas Evel hanya melihat sesosok cewek centil berambut tebal beromba-ombak dan berkacamata tebal. Namanya Debby. Saat itu dia sedang menulis di sebuah buku bersampul coklat kopi. Siapa tahu  si Debby tidak ikut-ikutan aksi tutup mulut seperti beberapa anak lainnya.

“Hallo Deb, sedang ngapain?” Tanya Evel seraya mendekatkan kepalanya ke bahu Debby. Saking dekatnya. Selintas Evel menangkap aroma harumnya wewangian dari rambut milik Debby. Evel seakan dihipnotis.

“Hallo juga Evel..Anu..Aku sedang mencatat yang ada di papan tulus. Emang kamu tidak tahu?” Debby balik melepar pertanyaan. Ayo buruan catat. Tidak lama lagi akan dihapus sama tim yang piket pagi lho.” Pandangan Debby tetap tidak lepas ke arah papan tulis. Seakan enggan menatap wajah Evel yang manis itu.

“Oh ya? Mauuu dong. Ntar aku copy paste ya…”Teriak Evel antusias.

“Boleh aja. Oh ya, sebentar lagi Aku mau menghadiri rapat OSIS.”

“Rapat OSIS?” Ada nada kaget di dalam pertanyaan Evel barusan. Kening mengeryit. Sampai-sampai alisnya nyaris menyatu. “Lho, bukanya khusus kelas dua ke atas? Sedangkan kita baru kelas satu toh.”

“Betul sih Vel. Tapi kemaren wakil ketuanya bilang bahwa tiap tahun siswa kelas satu diizinkan mengajukan sembilan calon untuk duduk mengisi kursi di seksi-seksi OSIS.”

“Berarti sudah ada ketentuan baru dong.”

“Itu sudah peraturan kapan taon Vel. Sudah kadaluwarsa.”

“Baguslah. Berarti sudah tidak ada diskriminasi senioritas ya.”

“Hal ini konon sudah menjadi tradisi di sekolah kita. Mereka ingin ada sistem regenerasi dalam organisasi OSIS. Ya, semacam turun temurun lah. Dari ketujuh kelas yang ada di kelas satu akan dicomot wakil-wakilnya untuk digojlok menjadi anggota OSIS yang tangguh.”

“Oh, begitcyu toh…”

“Bagaimana?” Debby mulai mendongak ke muka Evel.

“Bagaiman apanya?” Tanya Evel dengan raut muka rauh kebingunan. “Aku nggak ngerti.”

“Maksudku…Kamu tertarik tidak bergabung di organisasi ini. Asik lho. Yeah..hitung-hitung belajar berorganisasi. Punya banyak kawan. Terutama cowok-cowok keren dan pintar lho. Belajar berdiskusi, mengeluarkan pendapat. Ikut rapat-rapat. Manfaatnya yang lain nanti kita sudah tidak canggung-canggung lagi ketika terjun ke masyarakat. “

“Gimana ya…”

“Ayolah. Nggak usah kebanyakan pertimbangan untuk kegiatan positif seperti ini. Konon banyak alumni kita yang sukses sebelumnya semasa sekolah mereka terlibat dalam OSIS ini.”

“Yang kudengar kebanyakan pemimpin atau orang sukses bermula dari OSIS. “

“Nah, itu kamu sudah tahu.”

“Jangan sekarang Debby. Banyak yang sedang kupikirkan. Aku takut tidak dapat membagi waktu dan menganggu pelajaran.”

“Kamukan pintar. Tidak mungkinlah. Alasan aja deh kamu. Temani Aku dong. Biar kita bisa bersama.” Debby mengeluarkan jurus merayu mautnya. “Aku yakin seyakin-yakinnya kamu pasti bisa menanganinya kok. Tinggal bagaimana kitanya aja si Vel. Betu tidak?”

“Ahn kamu bisa saja. Nanti saya kasih kabar deh secepatnya. Sementara hold dulu. Aku pikir-pikir dulu apa untung ruginya.”

“Dasar otak dagang kamu! Kabarin ya ke Aku bahwa kamu mau. Nyatet lagi ah. Waduh sduah mau bel masuk nih.”

“Dasar anak rajin! Jangan terlalu diforsir, Deb. Dari tadi buru-buru amat ,mencatatnnya. Si amat saja tidak buru-buru kok. Hahaha. Santai sajalah. Oh ya Deb…Jangan sampai nggak datangnya lho nanti. Awas!”

“Undangan? Datang? Aku jadi bingung deh Vel?” Tanya Debby polos dengan mata melotot.

“Aduh Debby, jangan berlagak pilon deh. Coba kamu cek deh. Undangan khusus buat kamu sudah kutitipkan ke Novelita. Emang nggak sampe apa? Nggak perlu pakai perangko dan stempel kilat khusus lagi itu!” Nada suara Evel meninggi. Jari telunjuknyapun turut menari-nari.

“Oke oke. Emangnya siapa yang mau kawinan sih? Pembantu kamu?”

“Sebelku jadi dobel deh. Yaaa, soal undangan hari jadi Akulah. Hari ulang tahunku. My birthday. Kamu tak ubahnya seperti yang lain. Pura-pura tidak tahu, apa tidak mau tahu alias cuwek sama sahabat atau benar-benar lupa. Beda tipis deh kayaknya.” Evel kambuh penyakit nyerocosnya.” Sekarang ada nada hopeless di suara Evel.

“Walang kekek! Bujubune! Sontoloyo! Kalau terkait undangan ultahmu tentu saja Ogud tidak bakalan lupa. My dear…Tahu?!” Debby sudah mulai tidak tahan mendengar ocehan brutal yang tumpah ruah dari mulut Evel yang mungil dan bibirnya nan merah merekah. Debby kawatir jika Evel tiba-tiba ngerajuk, lalu mengeluarkan ait mata lalu….menangis dan mewek. Ah bisa kacau dunia persekolahan. Kalau sudah kejadian akan susah menenangkan hatinya.

“Oke, kalau memang aku ingat. Kapan acaranya?” Evel mengetes.

“Malam minggu kan..”

“Tepat sekali. Lima buat kamu…” Evel mengacungkan jempolnya.

“Yeaa kok lima sih? Pelit amat.”

“Habis kamu sudah membuatku jengkel.”

“Lagian kan masih atuh…”

“Biarin. Walaupun masih lama persiapan musti mateng Deb. Betul apa betul?”

“Betul.”

“Maaf ya Vel…” Ucap Debby lirih.

“Sudahlah. Tidak perlu dipikirin. Jauh hari sudah dimaafin kok.”

“Bukan soal itu..”

“Lho, lantas soal apa?”

“Sampai saat ini Aku belum bisa bantu-bantu di rumahmu.”

“Oh itu. Tidak perlu repot-repot kok. Hingga detik ini masih bisa kutangani kok. Nanti kalau pas Aku butuh bantuan pasti calling kamu. Jangan kawatir.”

Ketika Evel akan beranjak menuju bangkunya, sedikit dia menoleh dan berkata, “Oh ya Deb, semalam Aku lihat boneka Mickey Mouse cakep deh.”

“Memangnya kenapa Vel,” Debby sekali berlagak pilon. “Lagian sejak kapan kamu suka main boneka?”

“Idiih Debby. Ini kode dari Aku tahu?!” Evel mencoba mengerling tapi gara-gara kurang ahli, berakibat malah kedua matanya berkedip. Seperti orang kelilipan.

“Kode?? Oh, mau menjadi Ethan di Mission Imposible ya..Hahaha.”

“Bukan. Maksudku tu boneka Mickey Mouse cocol dijadikan kado lho..”

“Eh busyet!” Evel evel. Ternyata itu kodenya.”

Debby hanya mesem-mesem aja. “Boleh sih tapi….nggak janji.”

TEROR TELEPON MISTRIUS UNTUK KELUARGA AGUS

Dalam seminggu ini terjadi kejadian yang menyebalkan di rumah si Agus Blepotan. Jika dihitung-hitung dengan jari kaki, ada kali selusin kali  telepon di rumahnya berdering terus. Beda tipis mana bunyi bel mana bunyi telepon. Habis zaman dulu tidak ada ringtone polyponic.

Jangan salah sangka. Telepon berbunyi bukan pertanda Papanya Agus Blepotan seorang pengusaha yang selalu ditelepon mitra bisnisnya. Bukan pula Papanya jualan atau sales perabotan dan barang pecah belah sehingga saban hari diganggu oleh pelanggannya yang hendak memesan barang. Bukan pula seorang salesman yang menjual beraneka macam dan warna BH khusus Ibu-ibu, mba-mba maupun mbok-mbok centil yang menelepon karena kompalin dikarenakan karet busanya berasal dari stereofoam. Semua tuduhan itu salah besar. Entahlah sebesar apa.

Apalagi sampai menuduh telepon dari itu berasal dari fans fanatiknya Agus Blepotan. Tidak mungkin 100 persen. Karena dia bukan artis. Jangan salah arti ya. Maksud fans di sini buka para penggemar yang mengelu-elukannya. Namun fans itu terdiri dari kumpulan pekerja-pekerja berat butuh keahlian khusus. Hebat kan…Seperti tukang becak, sopir oplet dan tukang warung. Tidah subuh, tidak siang, tidak sore tidak maghrib malah sampai menjelang larut malam tiada berhenti berdering. Benar benar bikin pusing dan meneror seisi rumah.

Asal tahu saja. Suara yang keluar dari gagang telepon dari seberang sana sama sekali tidak enak mendengarnya. Sungguh menyebalkan dan memancing emosi untuk marah. Agus mencoba-mencoba mengingat-ingat sepanjang hidupnya, selama dia bersama keluarganya tinggal di komplek perumahan lapas itu belum pernah sekalipun mereka diteror oleh penelepon gelap. Kecuali penelepon berkulit gelap alias hitam atau negro. Itu mah sering. Baru kali ini ada makhluk yang berani bertindak tidak sopan dalam hal bertelepon kepada kepala rumah tahanan. Kalau di analisa nih orang termasul orang yang bernyali besar juga. Walaupun dia hanya berani menunjukkan suara jembrengnya saja.

Kita boleh sebut dia orang asing yang mistrius. Dari suaranya yang bernada getar menggelegar ketahuan bahwa dia berjenis kelamin laki-laki. Sauaranya sengaja di macho-machoin dan diserem-seremin. Agak parau, serak-serak monster dan disertai batu-batuk ala TBC sedikit.

Tebakan Agus kalau dari usianya berkisar 35 tahun ke atas. Menurut feeling Agus nih orang bisa jadi mantan buronan atau residivis yang sudah dibebaskan dari penjara namun merasa tidak puas mungkin dengan perlakuan selama dia mendekam di sana. Mungkin juga dia tidak puas dengan menu atau kokinya. Kepengen makan hamberger malah dikasih tahu tempe plus ikan asin goreng. Jadi tengsin berat. Atau pernah sekali waktu dia minta di pasangin AC atau dibeliin TV LED namun tidak dipenuhi. Ngambek jadinya.

Usut punya usut jika ditelusuri makin kusut dan semaput. Begitu gambaran kondisi keadaan rumah keluarga si Agus saat ini. Ancaman dari penelepon gelap sebenarnya ditujukan kepada Bapaknya Agus. Hanya saja dia sering kesal karena setiap telepon dijawab selalu bukan dari Bapaknya Agus. Seringnya sih pembantu rumah tangganya dan anggota keluarga yang lain. Kebetulan Bapak Agus yang menjabat sebagai kepala Lapas adalah orang yang sibuk. Dia sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap baik keamanan maunpun kesejahteraan para penghuni sel. Ini menyangkut soal kredibilitas karirnya. Bayangkan saja rata-rata penghuninya dari berbagai latar belakang profesi. Dari politikus, bankir, karyawan, pengusaha dan penggangguran. Kasusnyapun beraneka ragam seperti pencuri, pencopet pembunuh sampai kasus korupsi. Sangat complicated banget. Lalai sedikit saja bakal mencoreng nama negara. Karena tidak becus mengurus para tahanan. Coba bayangkan seandainya mereka lepas karena kurangnya ketatnya penjaagaan membuat mereka melarikan diri. Mereka tentu akan mengancam ketentraman masyarakat sekitar rumah tahanan khususnys dan masyarakat umum.

Akibat dari semua itu membuat Bapaknya Agus menjadi emosi berat dan ikut-ikutan stress lantaran dia dilarang oleh anggota keluarga untuk menjawab telepon sableng itu. Padahal Bapaknya Agus sudah siap mengomelin tuh sipenelepon sekaligus siap menerima tantangan seandainya diakjak ketemuan ataupu berduel. Dia merasa sama sekali tidak mempunya musuh. Musuhnya Cuma dua iblis dan setan!

Padahal selama berkarier sebagai orang tertinggi jabatannya di rumah tahanan, setiap tahanan diperlakukan secara kemanusiaan dan sesuai prosedur. Malah saking sayangnya lama masa tahanannya kadang suka ditambah lagi. Hehehe. Mungkin berat untuk meninggalkan lapas tercinta dan penuh kenangan?!

“Coba Bapak ingat-ingat duku deh, “desak Ibunya Agus dengan penuh ketidaksabaran, “Siapa tahu Bapak pernah menyakiti salah satu di antara tahanan itu di waktu lampau tapi mungkin Bapak lupa. Kalau tidak ngapain si kambing buluk itu menteror keluarga kita terus-terusan. Lagian berani banget sih dia menteror kepala lapas yang disegani di kota ini. Kayaknya dia kepengen dimasukkan ke sel lagi. Biar tahu rasa!”

“Ah, barangkali orang iseng atau orang gila yang tidak ada kerjaan saja,” Tangkis Bapak. Seingatku dulu sih ada anak tahanan pembunuh bayaran yang merasa dendam. Kalau tidak salah namanya Mat Codet. Tapi ujungnya kan sudah berdamai. Malah kami bersahabat. Baru semenjang ikut anaknya merantau ke Kalimantan saya lost kontak dengan dia.

“Oh ya Ibu ingat juga si Mat Codet. Coba siapa lagi Pak? Belum kakek kakek sudah pikun. Apalagi kalau sudah punya cucu.” Ibunya Agus setengah memaksa. Bukan apa-apa dia hanya ingin masalah ini segera kelar.

“Oh ya mungkin si Joni Kokang…?” ucap Bapak pelan karena masih lemas habis lembur.

“Joni Kokong kali Pak. Kerjanya suka mabuk-mabukan. Dulu Bapak sering berantem kecil-kecilan sama dia. Ingat kan katanya Bapak dulu pernah memaksa dia menenggak kecap manis sampai muntah-muntah. Hahaha…”

“Oh ya Bapak menjuluki dia dengan sebutan Joni Songhi. Kapan ya berantemnya? Oh waktu kami masih sama-sama lajang, muda dan ganteng….”

“Ehemmmm..” Ibu berdehem mencibir.

Pembicaraan mereka akhirnya terhenti oleh lagi lagi oleh bunyi dering telepon.

RIIINGGG!!

Mereka secara refleks bertatapan dengan mulut yang tertutup rapat.

TEROR TELEPON LAGI BIKIN DEMPLON

Hari Sabtu yang cerah, Agus Blepotan sedang asik bermain game perang-perangan di SEGA. Dari pagi sampai menjelang siang dia asik saja menembaki para tentara NAZI. Sampai lupa untuk memasak nasi untuk makan siang. Tekun banget main gamenya. Joystick dipegang erat serta mata memandangi layar TV dengan serius tak berkedip. Markas mereka dia gempur tanpa ampun. Bom molotov dia lemparkan ke segala arah. Dalam hitungan menit dia akan segera menguasai anak buahnya Adolf Hitler. “Sebentar lagi mereka akan menjadi tawananku. Hahaha…” Ledek Agus lagi.

Agus benar-benar merasa merdeka hari itu. Kebetulah seluruh isi keluarga kecuali dia pada pergi kondangan ke Pagaralam. Letaknya dipinggiran kota Palembang. Kira-kira menempuh waktu dua jam dengan berkendara mobil. Sedangkan pembantunya tidak mau kalah juga, sudah minta izin cuti karena ada kondangan. Jujur, Agus bete ditinggin sendiri di rumah. Untungnya dia mempunyai video game hadiah dari Opungnya sewaktu dia berhasil lulus SMP. Orangtuanya tidak begitu suka dengan jenis hadiahnya. Takut anaknya jadi malas belajar dan malah membuat anaknya ketagihan main game. Tapi Agus sudah berjanji tidak akan maniak game. Tidak perlu memakan waktu lama bagi Agus untuk melengkapi koleksi CD gamenya. Sampai saat ini dia hampir memiliki semua jenis permainan. “Coba kalau tidak ada video game, mana betah bah Aku di rumah.” Agus membatin. Ketika permainannya mencapai level terakhir, tiba-tiba telepon di ruang keluarga berdering kecil. Volumenya sengaja dikecilkan semenjak teror penelepon gelap minggu lalu. Sempat beberapa hari si penelepon libur dulu mungkin karena kehabisan koin. Agus dengan malas-malasan mengangkat telepon.

“Hallo? Ya, Selamat siang juga? Maaf dari siapa ini?”

“Hallo juga. Panggil saja saya Pegel. Ini siapa?” Sepertinya suara laki-laki.

“Saya….Gus Bonaparte. Anak dari yang punya rumah ini. Mau bicara dengan siapa?”

“Ya, tentu saja saya mau berbicara dengan Bapakmu. Saya nggak ada urusan dengan anak-anak..”

“Oh..” Agus langsung membanting telepon dengan kesal. “Biar tahu rasa!”

Telepon itu berbunyi lagi.

“Hallo?”

“Hey, kenapa teleponnya ditutup? Dasar anak kurang ajar ya. Berani-beraninya main tutup aja. Awas kamu ya!”

“Hey…ngapain Bapak sewot. Kan tadi bilang tidak ada urusan dengan anak-anak?!”

“Iya ya. Betul juga.”

“Bapak saya sedang kondangan. Belum pulang. Nanti kalau sudah pulang tidak usah telepon lagi. Tinggalkan pesan saja.”

“Enak saja. Bilang sama Bapakmu yang jelek itu ya, jika masih doyan hidup di dunia, segera lepaskan teman kami yang baru dia tahan 2 bulan lalu. Ingat tanpa syarat ya.

“Jadi-jadi Bapak to yang suka menelpon saban waktu. Dengar ya Bapak jelek abadi , Bapak telah menganggu ketentraman kami. Telah menteror kami.” Agus memberanikan diri menghardik bapak itu karena saking kesalnya. “Sudah suaranya kayak boneka Sesame street pakai diseram-seramin pula. Hihi. Tidak lucu ya.”

“Apa kamu bilang?!” Si penelepon gelap naik tensi. Dia tampak marah dimaki-maki oleh anak SMA. “Awas ya kamu anak brengsek! Kalau nanti dapat saya bikin pempek kapal selam ya.”

“Wowoowooo…Kami sekeluarga tidak takut dengan ancaman kamu! Hallo? Hallo?”

Sayang sekali, teleponnya sudah keburu ditutup. Agus lega. Dia mengambil nafas panjang. Sebenarnya Agus rada merinding juga. Rasa sayangnya kepada Bapaknya membuat nyalinya keluar untuk memaki-maki. Jujur, setelah habis menelepon dia merasa takut sendiri. Dia kawatir sang penelepon gelap itu tiba-tiba menjadi gelap mata dan segera mendatangi rumahnya dan menghabisinya bersama gerombolannya. “Mati Aku, ngomongnya kelepasan.” Muka Agus langsung berubah  pucat. Lima menit kemudian dia melanjutkan permainannya walaupun dengan konsentrasi buyar.

KUMPUL KUMPUL SERU DI RUMAH ARLEINI

Di sebuah rumah gedong alias middle cost housing alias rada mentereng. Sedang berkumpul sebagian serdadu cewek kelas 1.3 di sebuah teras halaman belakang yang luas lagi bening keramiknya.  Disekelilingnya dihiasi taman-taman dengan bunga-bunga hiasan yang berharga mahal. Terhampar di halaman  sekumpulan rumput jepang nan hijau laksana permadani membentang. Rumah Arleini saat ini sedang didaulat menjadi markas. Kenapa musti di rumahnya? Alasan pertama tidak lain dan tidak bukan karena Evel teman sebangkunya baik suka maupun duka. Mereka telah berdeklarasi bahwa mereka adalah teman yang cocok satu sama lain. Alasan kedua dikarenakan rumah Arleini cukup memadai menampung acara diskusi mereka. Tak bisa dipungkuri Arleini yang suka berpenampilan sederhana itu ternyata anak orang kaya. Rambutnya yang hitam lebat sebahu itu mengingatkan kita akan artis tahun 80an seperti Maya Rumantir, Anita Carolina Muhede dan Yessi Gusman di kala muda. Arleni bukan termasuk tipe tidak belagu dan sok pamer, seperti yang sering dilakukan oleh anak-anak pejabat yang sok kaya. Walaupun sedikit pemalu, Arleini termasuk orangnya supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Arleini tidak pelit dan sombong. Tidak jarang dia sering mentraktir nonton atau makan di kantin.

Semua juga tahu Papanya Arleini adalah Manager area di sebuah perusahaan asing yang memproduksi alat-alat berat. Karena keahlian dan keprofesionalannyalah membuat Papanya sering berpindah-pindah dari suatu kota ke kota lain. Sudah dua tahun belakangan ini mereka sekeluarga menetap di kota Palembang. Sebelumnya mereka pernah menetap di Samarinda, Manado, Ujung pandang, Surabaya, Medan, Pekanbaru dan Jakarta. Tidak heran antara Leni dan adik-adiknya lahir di kota yang berbeda-beda. Tak terkecuali tempat mereka mengenyam pendidikanpun tak luput dari perpindahan. Arleni bahkan sedikit banyak jadi menguasai dialek daerah lain. Arleini selalu menikmati dengan ikhlas dan happy setiap kota yang mereka tinggal.

Sementara itu angin sepoy sepoy  berhembus kesana kemari seakan menambah sejuknya suasana hari Sabtu. Beberapa anak perempuan yang memiliki rambut panjang nampak menyibak rambutnya yang berantakan karena kena tiiupan angin. Tak terkecuali Fatimah, bahkan mengkucir rambutnya yang hitam bergelombang.

“Amboy, disini anginnya enak ya. “ Seru Fatimah sambil terus membetulkan gaya rambutnya.

“Bawa pulang aja anginnya Timah..” Canda Debby.

Siapa saja yang hadir? Mereka adalah teman-teman akrab Evel yang sengaja menggelar rapat sendiri dalam rangka menghadapi pesta ulang tahunnya. Tentu seja acara tersebut sengaja dirahasiakan. Biar suprise. Mereka daha Arleini si tuan rumah, Debby, Sri Dimitha, Novelita, Endah, Nyunyun, Fatimah, Baba Sue Martini, Desi, Desy dan terakhir Mimi yang memang datang belakangan tadi. Bukan ceweknya namanya kalau acaranya tidak ramai. Pasar inpres saja kalah hiruk pikuknya. Mareka saling melempar argumen dan debat ala pilkada. Sampai-sampai Mama Arleini yang sedang getol istirahat di lantai dua sampai merasa terganggu okeh kehebihan mereka. Sesekali Mamanya mengintip dati balik jendela kaca. Was-was jangan-jangan ada yang sedang kumat lalu nekat bakar-bakar sampah di pekarangan. Atau ada yang gontok-gontokan karena silang pendapat. Hehe. Ada-ada saja. Padahal Mamanya sudah menyuguhi beraneka kue dan roti. Seperti Kue Mak Suba yang terkenal mahal itu, roti mary regar, black forest, roti subur, chiki. Tak ketinggalan cemilan wajib yaitu empek-empek lengkap dengan cukonya, kemudian ada tekwan dan model. Minumannya es kacang merah. Sekilas mirip pesta pernikahan dini. Mereka puas bukan main telah dimanjakan oleh tuan rumah.

“Asoy juga nih rapat kita kali ini. Makanan berhaburan dan bertaburan dimana-mana. Bisa-bisa badan-badan kita pada melar nih besok. Hahaha.” Sabda Desy sambil mengunyah pempek telor.

“Tapi kok aneh Arleini malah tidak gemuk sedikitpun ya…”timpal Baba ceria.

“Karena Leini tidak serakus kamu Ba,” ejek Mimi terkekeh-kekeh.

Baba langsung mingkem dan cemberut.

“Aku kan pada dasarnya malas ngemil kalau sudah makan nasi. “ Arleini membuat pengakuan. “Tapi karena menghormati kalian jadi nimbrung makan.”

“Begitu dong Len, itu baru namanya sobat yang baik.” Fatimah menimpali seraya mengacungkan jempolnya.

“Aku jadi ngiri sama kamu Len,” tukas Debby,” Aku nggak bisa nahan nafsu makan. Pokoknya makanannya apa aja aku sikat. Tidak ada pantangannya. Makanya Aku sampai sekarang belum menerapkan diet. Mungkin nanti kalau bengkak kali…Hahaha.

“Kalau Aku ngemil dikit aja langsung jadi daging. “ujar Baba sue Martini. “

“Kalau saya kebalikannya Ba…”Dessy ikut nimbrung. “Makan sebanyak apapun nggak gemuk-gemuk. Mungkin nanti kalo sudah nikah baru gemuk hehe.”

“Idiihhh…Dessy sudah kepengen nikah ya? Nikah sama siapa? Emang kalau sudah nikah bisa gemuk Des? “Ledek Sri Dimitha dengan suara yang kencang.

“Adeh deh.” Balas Dessy seraya menundukkan wajahnya tanda malu.

“Tanteku nikah malah makin kurus lho Dess..”Kali ini Endah yang membuat pengumuman.

“Tetanggaku namanya tante Ochie, waktunya gadisnya langsing dan singset eh pas kawin langsung bengkak. Hahaha. ”Nyunyun yang berkacamata tebal angkat bicara.

“Aku turut prihatin Nyun..”Sambar Mimi yang baru datang dari toilet. “Tidak semuanya cewek yang menjadi gemuk ataupun kurus hanya gara-gara menikah doang, Semua ada prosesnya. Tidak semata-mata lantaran karena perbuatan suaminya.” Bisa dihitung dengan jari kok ada suami yang menuntut istrinya agar berperawakan kurus dengan menjaga diet. Ada juga suami yang mood melihat istrinya gemuk dan montok.”

“Aduuuh! Kalian ini ngobrolin apa sih? Masih sekolah juga sudah ngomongin kawin.” Tiba-tiba Mamanya Arleini mendatangi tempat dimana teman anak-anaknya berkumpul.

Semuanya tersentak kaget, terdiam dan tertunduk malu. Tidak menyangka Mamanya melakukan sidak dengan diam-diam.

“Eh Mama gimana sih. Katanya janji nggak ikut nimbrung kita-kita.”Protes Arleini sewot.

“Siapa yang mau nimbrung. Mama mau ambil sesuatu.” Jawab Mamanya sambil berlalu setelah menemukan kunci mobilnya yang pindah tempat.

Tidak lama kemudian pecahlah tawa semuanya.

“Ayo kerja kerja!” Teriak Sri Dimitha. “Nanti keburu sore.”

Mereka melanjutkan kembali konrensi darurat yang sedari tadi berlangsung alot. Kali ini diskusi kepentok oleh masalah kado apa yang ideal diberikan pada pesta ulang tahun Evel nanti. Terkait biaya yang akan dikeluarkan ditanggung bersama-sama alias patungan. Namun hadiah apakah yang akan dibeli masih belum klop. Terjadi silang pendapat, pro dan kontra sudah lumrah pada suatu arena rapat. Dari sekian yang berdiskusi membentuk dua kubu. Kubu pertama terdiri dari Fatimah si hitam manis, Baba Sue Martin si bule KW, Dewi si rambut kepang karet, dan Sri si imut mengajukan ide kado yang berbentuk unik-unik norak macam : bando, stagen, penjepit rambut, kompor masak pakai sumbu, kuali, deodorat dan pembalut. Kesimpulan dari kubu Fatimah terpilih kado: PANCI. Sedangkan dari kubu Debby si kacamata tebal, Desy si keriting, Novelita si gilabaca, Sri Dimitha si gadis Boolywood KW dan Mimi si mimik susu memberikanb ide : Boneka Barbie, BH bermerk, Kaset lagu, Kipas angin, Stationery serba pink, shampoo orang-aring dan parfum impor.

“Panci?! Tidak salah denger tuh. Kampungan banget..” Ledek Debby and the gank sambil tertawa meledek.

“Weeee, enak aja.  Kalian yang kampungan. Nggak nyadar apa! Kalau tidak ada panci, ibu kalian mau masak pakai apa? Pakai baskom ya. Betul tidak teman-temanku?!” Balas dari Fatima CS tidak kalah sengit. Dua kubu ini nyaris gontok-gontokan pura-pura.

Arleini, sebagai sipencetus ide dibuat kelimpungan dan berteriak parau. “Sudah stop stop. Kalau begini bakal nggak kelar-kelar nih.”

Setelah beberapa menit berembug, maka diambillah sebuah kesepakatan nan gemilang dan cemerlang. Biar dua kubu diperlakukan secara adil, maka Arleini dengan bijaksana menampung semua ide hadiah teman-temannya lalu digabung menjadi satu hadiah. Lalu dikemas ke dalam sebuah kota besar. Mirip-mirip parcel gitu..

Bagi cewek-cewek alias kaum hawa kelas 1.3 ngumpul-ngumpul di rumah Arleini merupakan tempat yang cocok dan keren abis. Namu beda hal dengan Kaum nabi Adam alias cowok-cowol berkumpul di Kantin Kak Ma’il adalah kebebasan dan surga. Usai jam sekolah mereka dengan sengaja dan sadar membooking kantin kecil yang terletak di belakang sekolah untuk mendiskusikan hadiah apa yang akan dipersembahkan kepada Evel yang manis.  Otomatis pelajar dari kelas lain tidak bisa masuk dan hanya melihat-lihat saja. Sada juga yang mampir ke kantin di seberang jalan sekolah. Tidak sedikit yang karena kesal akhirnya memilih pulang saja.

Pelajar cowok kelas 1.3 kompak banget deh kalo soal yang berhubungan dengan cewek. Semua ikut ambil bagian. Biar dibilang solider dan perhatian sama Evel. Mereka mulai merubung kayak semut. Saking penuhnya kantin itu serasa akan roboh. Beberapa di antara mereka yang tidak mendapatkan kursi sengaja duduk di lantai dengan beralaskan koran dan majalah. Yudo secara nekat ingin duduk di meja langsung dijewer istri Kak Ma’il. “Maaf, ini bukan untuk traktor!”

Mereka rela berdesak-desakkan. Mereka rela bercucuran keringat dan berbau-bauan. Dan yang terpenting mereka harus bayar setiap makanan yang dicomot tanpa ngutang. Tidak ada karena alasan bokek lalu meninggalkan KTP. Sudah bukan zamannya lagi. Pada suatu ketika Kak Ma’il bersabda. “Hai, kalian ngumpul tidak lama kan? Sepertinya kami mulai sesak nafas nih.”

Acara heboh yang dimentori oleh Ichsan TWEJ dimulai. Dia membuka rapat dengan gaya yang digagah-gagahin seperti ketua MPR/DPR. Maklum cita-citanya kelak memang ingin menjadi diplomat atau politisi.

“Well, gay eh maaf guys! Sebelumnya terima kasih sudah bela-belain hadir di sini. Kalau anak kelas lain sudah pada pulang ke rumah masing-masing. Sudah bertemu Ibu Bapaknya di rumah. Mungkin mereka sedang atau sudah menyantap makan siang. Mungkin juga sudah ada yang bobo siang. Biarkanlah. Sedangkan kita disini mempunyai tugas mulia. Dalam rangka mengumpulkan dana untuk….teman kita yang akan berulang tahun yang sedang ditimpa kebahagiaan. Saya patut berbangga dan mengapresiasi tekad teman-teman untuk berkumpul di kantin tercinta ini. Kantin kita bersama…”

“Enak saja kalau ngomong. Itu kantinku, tahu!” Teriak Kak Ma’il dari arah dapur. Dari nadanya kedengaran seperti ingin menangis. Dia tidak rela kalau kantinnya mau direbut oleh anak-anak kelas 1.3. Walaupun begitu ada sedikit keharuan nan biru gara-gara kantinnya dibilang ‘ kantin tercinta’.

“Peace Kak Ma’il.” Pekik Agus sambil menenangkan teman-temannya.

“Lanjut ya..”Ucap Ichsan. “ Pokoknya saya salut dengan rasa persaudaraan kelas 1.3 ini. Di tengah perut yang keroncongan kita masih bisa berdiskusi. Hidup kelas 1.3. Jayalah di darat dan di udara. Alah..ngomong apo iki…Kalau bisa kita usahakan memberikan hadiah yang very interesting, very good, very exlusive, very cheap and very important to get remember. Saya sebagai the leader of the class sungguh terharu dan bercampur bangga. Ternyata selain kelas kita sering dicap negatif di luar sana, mari kita tunjukkan emansisapi eh maksudnya sikap solidaritas kita terhadasp teman yang sedang dilanda ulang tahunnya. Okelah saya tidak berpanjang lebar. Tentu kalian sudah pada laper akut. Oh ya untuk acara kali ini kita disponsori oleh Bos Yudho Gempul yang dermawan lagi kaya. Kalian silahkan makan cemilan secukupnya dan minum air putih sepuasnya. Bagi yang melebihi paket yang sudah kita tetapkan harap tanggung sendiri. Emang kantin nenek moyang lu. Oke, rapat sesi mengeluarkan ide dan saran dimulai!”

Tiba-tiba Choiruddin mohon pamit untuk pipin.

“Lihat si Choy. Mohon jangan ditiru. Disuruh mengeluarkan pendapat dia mengeluarkan yang lain…” umum Ichsan kepada khalayak ramai.

Mereka berteriak riuh. Anak-anak langsung fokus ke sipemberi sponsor yaitu Yudo Gempul. Beberapa anak berencana menggendong Yudho tapi dibatalkan. “Masak kita menggendong traktor.” Sebagai penggantinya mereka hanya mengeli-elukan saja.

“Bos Ichsan! Kalau saya bersama Tekya berniat ikhlas menghadiahi  kado ayam jago kesayangan  kami. Ayam tersebut akan kita potong bareng-bareng pada pagi hari tepat di hari ultahnya Evel.” Teriak Faisol diiringan anggukan Tekya.

Semua bertepuk tangan diiringin suara teriakan.

“Oh, sunggu masterpresent sekali,” Puji Agus sambil terkantuk-kantuk. Lalu menguap lebar.

“Mending kasih ayam betina aja, Sol.” Usu Iwan Kutacane. Teriaknya paling kencang,

“Enggak ah, nanti kamu gombalin ayam saya,” Tolak Faisol mencibirkan bibirnya yang dower.

“Dasar pempek kriting! Mana mungkin saya naksir ayam jelek kamu! Saya masih doyan sama cewek, tahu!” Iwan ngamuk-ngamuk. Kakinya jingkrak jingkrak turun naik.

“Hey, Wan..kalau kamu mau ngasih apa?” Tanya Ichsan TWEJ.

Iwan langsung berlagak pilon. Lalu berubah seperti orang lagi mikir. Pundaknya langusng didorong oleh Agus. Iwan kaget bukan main. “Nanti nanti lagi Aku pikirkan.”

“Aku mau ngasih BH.” Teriak Agus Blepotan dengan semangat sambil mengepalkan tangannya.

Usulannya yang sangat norak itu langsung disambut tolakan oleh teman-temannya.

“Gus, kamu nginggau ya?” Tanya Yudo Gempul seraya menyikut tulang iga Agus. “Be-ha? Apa nggak keliru?”

“Keliru? Jadi Emak kamu pakai BH adalah perbuatan keliru?” Balas Agus.

“Slompret!” Umpat Yudo. Mendadak rambut keriting Agus makin awut-awutan setelah cengkraman Yudo mendarat di kepalanya. Akhrinya mereka kejar-kejaran sampai keluar kantin mirip sekali film India. Kemudian mereka berhenti di sebuah pohon akasia nan rimbun untuk berjoget-joget ria. Anak-anak mengolok-olok dari jendela kantin Kak Mail.

“Bagaiman kalau joker in the box?” Lebih seru dan mencekam..” pancing Ferry tiba-tiba menyeruak muncul dari belakang. Sepertinya dia ketinggalan ‘kereta’ selepas dari toilet.

“Konyol kamu Fer! Kamu mau dikeroyok orang sekampungnya gara-gara si Evel jantungan terus pingsan. Kamu mau?” Protes Choi dengan mata melotot.

Ferry langsung mingkem.

“Biar saya yang pangku kalau pingsan. Asiikkk.” Herry berteriak lantang.

“Musibah bagi Evel. Bisa-bisa kulit Evel berubah menjadi hitam gara-gara kelunturan kulitnya kamu Her Her.

Mereka mulai berembuk lebih serius. Masing-masing saling mengawasi. Takut ada mata-mata atau spionase asing yang mencuri dengar ide-ide yang keluar dari mulut mereka. Dan jikalau bocor sebelum waktunya bisa kacau balau. Tentu saja sudah tidak suprise lagi namanya.

“Ingat ya teman semua, Pertemuan kita hari bersifat rahasia. Jangan sampai kabar ini menyebar dan sampai ke telinga Evel. Nggak seru.” Ucap Ichsan dengan mimik serius. Terlihat dari kacamatnya sering turun ke tengah batang hidungnya yang bangir.

“Lantas apa hukumannya bagi mata-mata yang menyebarkannya?” Tanya Yudi penasaran.

“Kita gantung di tiang bendera sekolah!” Tekya membuka suara.

“Kita suram cuka pempek sebaskom. Biar dia berendam di sana. Haha..” Ini ide dari Samsu.

“Jangan itu terlalu sadis. Kita telanjangin saja. Lalu kita arak-arak ke pasar.”Yudo angkat bicara.

“Huss! Kalau mbok ya dipikir-pikir toh lek lek.”Sony mengucapkan dengan sok wibawa.

“Memang untuk hukuman orang yang begituan apa! Sudah sudah mulai serius lagi nih.” Ichsan mulai kesal lagi melihat teman-temannya membuang-buang waktu. Pada tidak tahu apa semua kepingin cepat pulang sampai di rumah untuk bobo siang.

“Ngomong-ngomong sampai kapan aksi tutup mulut ini berakhir pak ketua?” Tanya Tekya.

“Sehari sebelum hari ‘H’nya. Jangan sampai bocor ya. Kita bukan balon kan teman-teman? Terus nanti kumpulan hadiah dari teman yang beraneka ragam itu kita satukan ke dalam satu kotak besar. Saya rasa Evel pasti penasaran dan mengira-mengira hadiah pemberian kita. Mulailah mencari kado apa yang menurut teman-teman cocok. Nanti Faisol akan mendata dan mencatat semua kado yang masuk. Takutnya siapa ada yang mengasih kado petasan, tentu tolak dan kita ceburin ke sungai musi. Kado jangan mengandung SARA ya. Carilah kado yang mendidik dan bermanfaat. ”

“Kita bawa pakai apa tuh hadiah? Pakai kuda ya?” Kali ini Zoel yang bertanya sambil membasahi bibirnya yang merah dengan lidah.

“Tenang. Papa saya mobil bak terbuka.” Akhyar memberi tanggapan dan solusi.

Semua anak bilang…YES!”

Keeseokan harinya beberapa anak cowok kelas 1.3 sedang asik mengobrol dan bersenda gurau di belakang halaman sekolah. Persisnya dekat parkiran motor.

“Saya mau ngasih hair spray ah.” Ujar Ichsan sambil nyengir kuda lumping.

“Hair spray? Apaan tuh?” Tanya Apto serius.

“Hair spray kamu tidak tahu To? Kuno kamu.” Ichsan melongo.

“Iya. Jelasin apa dong. Oh tunggu tunggu..Hair kan artinya aku tahu……rambut. Kalo seprei kan penutup kasur. Kalau digabung Sepri dipakau untuk menutupi rambut?”Apto berusaha berpikir keras.

“Aduh, To. Penjelasannya ngawur sampai kemana-mana. Payah kamu. Hair spray itu penyemprot rambut. Fungsinya mirip minyak rambut. Nah kalo ini disemprot. Supaya rambut harum dan mudah ditata dan diatur. Pada umumnya dipakai oleh kaum wanita dan ibu-ibu. Memangnya ibu kamu tidak pakai itu?”

“Nggak tahu ya.” Apto menggeleng.”Setahuku kalau sehabis mandi rambutnya dibilas terlebih dahulu  dengan handuk biar kering. Setelah itu dikasih minyak kelapa sambil di usap-usap ke seleuruh kepala. Terutama pada ubun-ubun. Kemudian dipijat-pijat. Lalu…”

“Digoreng dan ditumis ya. Wah itu cara tradisional banget. Udik!”

“Kamu jangan salah. Hasilnya rambut ibuku panjang hitam subur dan mengkilap.”

“Dimana-dimana minyak kelapa itu untuk di dapur. Dipakai ibu-ibu untuk memasak. Di Amerika mana ada kutemui pakai minyak kelapa. Semua orang disana rata-rata pakai hair spray atau styling foam. Udah udah…”

“Kalau begitu juga mau ngasih hair spray yang terbuat dari minyak kelapa.” Apto langsung berlalu.

Ichsan hanya bisa geleng-geleng kepala sambil sedikit geram kepada Apto.

“Kalau ogut mau kasih kado angpao, lebih keren dan komersial.”Serobot Yudi. Padahal tidak ada yang nanya.

“Oh ya saya mau ngasih diare. Biar lebih romantis. Biar dia tahu selama ini saya suka memperhatikannya.” Usul Andi sembari nongkrong mirip orang kalau lagi be-ol. Tiba-tiba Breek! Celana abu-abunya yang sedikit ketat dan cungkring sobek. Untungnya hanya Andi sendiri yang tahu. Dia spontan berdiri sambil menutupi bagian tengahnya yang sobek sedikit. “Uff. Kalau teman-teman tahu pasti sudah diledek-ledekin extream nih.” Andi membatin.

“Andi andi. Emang si Evel sakit perut mau dikasih obat diare.” Protes Ichsan. Dia paling sebel kepada teman-temannya yang sok-sok gaya menggunakan bahasa Inggris tapi blepotan. Ichsan suka misunderstanding jika mendengar teman-temannya ngomong bahasa inggris nyablak.

“Well Ichsan. I’m forget. I mean Dairy bro.”Kilah Andi agak terpojok dan kehilangan sedikit konsetrasi. Dia masih shock memikirkan solusi celana seragamnya yang sobek bagian tengahnya.

“Oh ya coy,”pekik Faisol agak terhenyak. “Kita-kita belum mendengarkan komentar si Zoel nih tentang kado buat Evel. Ayo Zoel, ngomong doang. Jangan Cuma mesem-mesem kayak pohon asem yang belum kesiram air gitu dong. Hahaha..”

Zoel langsung mendadak kaget ketika didakwa oleh Faisol Kribo. Buku novel yang digenggamnya nyaris terlepas. Dia kesal dan jengkel namanya dibawa-bawa, akan tetapi tetapi dia berusaha tersenyum hambar. Tampak jelas pada sorotan matanya dan delik manjanya, terlukis guratan sebel kepada Faisol Kribo. Tak dapat dipungkuri.

“Apaan sih Sol Sepatu. Eyke sedang serius baca novel. Rumpi deh ah! Ntar eyke lurusin rambutmu yang kayak sarang burung. “ Zoel gelinjangan tak menentu. “Kadoku sebenernya tidak akan dipublic di sini. Akhirnya eyke buka juga deh secretnya…”

“Udah Zoel, jangan bercerita panjang lebar kayak novel deh..”colek Iqbal gregetan melihat Zoel. Selain teman sekelas Zoel juga bertetanggaan dengan Iqbal. “Cepatan, apa kadonya? Kita buka-bukaan di sini aja. Tenang deh tidak akan melebar kemana-mana. Hanya kita-kita saja yang tahu. Swear deh…”

“Eike mau ngasih kado….boneka putri salju dan kaset album New Kids on The Block. Idih..kebuka deh.”

Temen-temennya mengacungkan dua jempol ke arah Zoel. Two thumbs! Dan dia tidak menduga bakal mendapat apresiasi yang positif begitu. Dia spontan tersenyum lebar sambil tersipu-sipu malu.

“Ah ah. Nggak seru nggak seru. Mending kado dari saya lebih afdol dan uptodate, berkesan dan teringat-ingat sampai tua.” Sony Betapermax berkata sambil mencak-mencak. Mirif gaya gatot kaca blingsatan yang mau terbang ternyata lupa membawa sayap.

“Memangnya kado apaan sih Son Son…” Pekik Zoel penasaran. Dia sewot kalau kadonya disalib sama kado Sony.

“Kasih sun dong yang…”Ucap Sony seraya memonyongkan mulutnya seolah-seolah akan mencium Zoel.

Semua temannya mencibir. Akhirnya Sony dapat sambitan kado berupa satu biji pempek bekas gigitan dari Agus Blepotan yang mendarat mulus di jidatnya.

Di lokasi lain pada waktu yang bersamaan, tepatnya di taman bunga milik sekolah, Debby sedang duduk santai ditemani Arleini pada jam istirahat. Mereka ngobrol sambil tetap memandangi anak-anak cowok yang sedang latihan bola basket di lapangan di seberang taman. Biasalah, modus pura pura ngobrol namun matanya jelalatan kemana-mana melihat cowok cowok cakep.

“Deb..Deb!” Bisik Arleini sambil menepuk pundak Debby yang kondisinya seperti orang dihipnotis dan terkagun-kagum. “Sadar sadar bangun bangun Deb!”

Debby tetap terdiam. Mananya terus menatap lapangan basket. Arleni mengibas-ngibasnya tangannya di depan kacamata Debby. Debby tak bergeming. Saking kesalnya Arleini mendorong bahu Debby.

Debby mulai sadar dan gelagapan. “Ada apa? Apa ada?” Cerocosnya ngawur. “Iya, Len. Sampai dimana arah pembicaraan kita tadi?”

“Astagfirullah! Kamu kesambet jin cowok mana sih Deb? Saya kirain kamu sedang kemasukan.”

“Nggak kok. Kamu kan tahu aku itu maniak permainan basket. Jadi kuperhatikan secara seksama wajah-wajah pemainnya…eh maksudku trik-trik permainannya. Makanya aku lagi konsentrasi. Maklum deh, jadi lupa daratan.”Debby berusaha berkilah untuk membela diri.

“Eh, memperhatikan permainan basketnya atau yang lain…”Ledek Arleini. “Aku juga suka basket tapi tidak sampai sebegitu terpananya Deb.”

Debby membetulkan posisi kacamatnya yang super tebal. Memperbaiki posisi duduknya yang nyaris mengangkang tadi. Lalu duduk dengan posisi tegap. Siap!

“Oh ya Aku teringat sekarang. Te-Tema kita ta-tadi soal Evel kan?” Ucap Debby agak terbata-bata. Akhrinya Arleini menghela nafas panjang. Mengurut dadanya sejenak. Dia nyaris jantungan seandainya Debby kemasukan jin penghuni taman sekolah. Bisa-bisa kabur duluan boro-boro menyadarkan.

“Alhamdulillah, akhirnya kamu siuman juga Deb. “

“Ini Len. Kulihat-lihat belakangan ini Evel kan jarang ngumpul dengan kita. Gara-gara ide si Ichsan TWEJ yang membuat ide agar kita menjauhi Evel untuk sementara waktu menjelas pesta ulang tahunnya. Alsannya untuk membuat suprise. Kurasa nggak etis juga.”

“Maksudmu? Nggak testis gimana.”

“Nggak Etis Len. Idiih..mikirin jorok ya.”

Arleini meledak tawanya. “Emang kamu saja yang bisa mengerjain…”

“Waduh, ada unsur balas dendam nih yee…”

“Oke oke, teruskan Deb.”

“Oh kirain obrolan ini berhenti sampai disini. Begini, jadi pernah sekali waktu kusaksikan sendiri muka Evel terlihat kusut. Seperti orang stress dan banyak pikiran. Padahal kamu kan tahu sendiri Evel yang kita kenal orangnya easy going. Mana pernah Evel kulihat sebegitu kusutnya. Kita kan tahu dia anaknya yang simple, suka senyum dan selalu ceria. Aku tidak sudi Evel sahabatku…”

“Sahabat kita semua…” Sela Arleini. Terus…”

“Iya itu. Aku tak sudi jika Evel berubah jadi pemurung dan acuh tak acuh. Aku kawatir nanti dia malah menuduh kita-kita sombong lho. Tujuan kita semula ingin memberikan kejutan dan membuatnya bahagia malah menjadi bumerang untuk kita. Jangan terlalu ekstrim beginilah.”

“Mudah-mudahan kemungkinan jelek itu kita harapkan tidak terjadi ya. Aku yakin nggak separah itu. Evel semoga beranggapan bahwa kita sedang bikin kejutan buatnya. Oh ya aku ingat suatu kejadian. Aku pernah berpas-pasan sama dia sewaktu kami sama sama menuju ke perpustakaan. Dia justru malah senyam senyum dan meledek sambil berkata, ada demo diam ya. Aku sudah menduga sudah ketebak oleh Evel. Dasa anak pintar.”

“Oh ya.” Debby tersenyum sendiri sambil membayangkan kejadian yang sedang diceritakan Arleini. Lalu mnegucap pelan… “Semoga deh.”

Tanpa terasa percakapan terhenti oleh bel tanda masuk dari kejauhan. Mereka buru-buru menghambur masuk. Saling berangkulan. Ya, rangkulan seorang sahabat. Erat dan menentramkan hati.

Akan tetapi….tanpa disadari dan disangka oleh Debby dan Arleini, bahwa ada sepasang mata mengamati mereka dari atas balkon lantai tiga gedung kelas utama. “Ternyata sekongkol…”

 

BERSEPEDA PAGI ITU PELARIAN MEMBAWA COWOK

Minggu pagi nan cerah, niat Evel hendak bersepedaan akhirnya terlaksana juga di tengah kesibukannya sebagai pelajar so pasti wajib belajar menghadapi ulangan harian yang acapkali datang tanpa diduga. Memang sih ada beberapa guru yang hobi mengadakan ulangan dadakan. Alhasil banyak siswa yang mendapatkan nilai tak sedap dipandang mata. Ditambah lagi seabreg kesibukan mengurusi persiapan pesta ulangtahunnya yang semakin mepet. Plus membaca situasi terkini di peta kondisi komunikasi antar teman sekelas sedang tidak kondusif-kondusifnya. Akhirnya Evel mengambil jalan tengah untuk mencoba berolahraga di pagi ke kambang iwak park. Baginya mau dibilang pelarian dari segala masalah yang semakin menumpuk begitu menyiksa dan menderanya. Terserah anggapan orang sekitar. Masa bodoh.

“Pokoknya pagi ini Aku tak mau diganggu. Sebab, Aku ingin menghibur diri dengan berolahraga sepeda sendirian.”Jerit batin Evel membuncah. Siapa tahu akan mengobatin hatiku yang galau ini. Aku harap setelah ini pikiranku lebih sehat dan segar. Bodyku lebih fit dan bugar. Toh, Aku sudah lama mengidam-idamkan situasi seperti ini. Bukankah terakhir bersepeda sewaktu masih kelas 1 SMP. Setelah itu sepertinya tiada waktu lagi. Oh alangkah senangnya hatiku. Sementara waktu persenan eh persetan dengan urusan sekolah. Memang Aku pikirin!“

Minggu itu Evel memang nekad bersepeda ria tanpa persiapan yang matang. Pagi-pagi gelap dengan berjingkrak-jingkrak dia menuju gudang belakang untuk mengambil sepeda BMX hadiah dari Papanya sewaktu naik ke kelas dua SMP. Dia lupa sudah kondisi terakhir sepedanya itu bagaiman? Sepeda yang sudah sekian tahun tak tersentuh itu nyaris berkarat dan berdebu. Yang paling parah angin di dalam kedua ban sepedanya sudah minim sekali. Boleh di bilang kempes level menengah. Siapa peduli? Rasa emosional, kekalutan dan kekacauan hati mengalahkan segalanya. Yang penting tugasku pagi mengayuh sepeda sejauh kemampuanku. Sejauh yang kumau.

Setelah menutup pintu gerbang pelan-pelan, Evel bagai kilat segera mengayuh pedal sepedanya sekencang-kencangnya. Sengebut-ngebutnya. Ketika sampai di portal gerbang, Evel hampir saja menyeruduk pos siskamling. Untungnya dengan sigap dan cekatan dia mengendalikan laju sepedanya agar seimbang dan tidak terjatuh. Evel sempat melambaikan tangan ke arah satpam komplek perumahan. Pak satpam bernama Rosidi membalasnya dengan senyum manis.

Saat memasuki jalan yang menanjak, Evel mulai kehabisan tenaga. Dia baru sadar sepeda yang dibawanya tidak bergigi layaknya sepeda balap. Makin dikayuh serasa semakin berat. Seakan-akan sepedanya menggandeng sebuah gerbong milik kereta tua. Hua! Dia berharap cemas dan berdoa semoga ban sepesanya tidak bermasalah. Kalau sudah begini kejadiannya dia berharap peristiwa hari itu adalah Cuma mimpi belaka. Namun dia harus  dan ‘bangun dari tidurnya’ dan serta merta mengakui bahwa yang barusaja dia alami bukanlah mimpi. Fakta dan real. Evel langsung shock refleks.

Kini…pemandangan jalan aspal yang menanjak sudah terhampar di hadapannya sekali lagi adalah kenyataan. Masih belum percaya? Singkatnya…Hadapilah kenyataan di depan matamu! Walau berat sekalipun.

Evel beguman dalam hati, ‘mengapa sepeda ini semakin berat ya?’. Aduh, ternyata benar ban sepedanya sudah kempes pes. “Aduh, ya ampun mudah-mudahan ini hanya mimpi.” Gumannya sambil keringat dingin. Perlahan dari dahinya mulai timbul butir-butir peluh. Butir itu luluh dan rapuh. Tak lama kemudian dia melorot dari batang hidung lalu berselancar ke bibiar atas. “Huh, asin. Puihh!”

Otomotis dia kewalahan dan kelelehan. Padahal setelah turunan dia akan sampai di kambang iwak park. Evel bingung dan penasaran. Jaraknya masih lumayan jauh. Sudah terbayang di benaknya akan menggandeng sepedanya dalam kondisi jalan yang menurun. Seandainya sepeda ini sudah tua dan rongsokan pastilah sudah Evel tinggalin begitu saja.

“Hallo cantik…” Tiba-tiba terdengar suara cowok tak dikenal menggodanya, “itu cowoknya? Pantas dia ganteng terus.” Ada sekumpulan cowok binal dan ganjen nongkrong di trotoar kambang iwak park.

Evel tidak menoleh sedikitpun. Dia jaga gengsi. Evel paling anti digodain murahan kayak gitu. Makanya dia jalan terus. Buru-buru menjauh. Bagi Evel mau tuh cowok-cowok penggoda dari grup band korea yang wajahnya halus-halus dan keren-keren sekalipun masa bodo. Pokoknya nilai langsung merosot di mata Evel. Apakagi kalau menggodanya beraninya ramai-ramai. Jelas bukan pejantan tangguh.

Evel tidak memungkiri bahwa dirinya adalah seorang gadis manis mempunyai potensi untuk digoda oleh laki-laki manapun. Rugi rasanya bagi mereka untuk melewati moment berharga dan langka itu dengan membiarkan bidadari lewat begitu saja. Evel itu faktanya menggemaskan. Lelaki mana yang tidak tergoda. Tidak usianya tua tidak usianya muda. Baik yang sudah status double apalagi yang jomblo bu….jangan. Yang paling tidak memandang sambil memolototi.

Evel mengalami pelecehan ringan..Simak percakapannya di bawah ini.

“Eh, adik cakep. Sudikah kiranya jadi mantu saya, “ Tanya seorang Om-om sambil berlalu.

“Maaf Pak. Saya masih sekolah. Belum niat kawin muda.”

“ Aduh kasihan ya. Sejak kapan bannya kempes? “ Goda yang lainnya. “Oh seandainya saya dulu bercita-cita menjadi tukang tambak ban..”

“Tinggalin aja sepedanya, mending boncengan sama saya..”

“Ogah! Lagi nggak mood naik ojek.

”Kesian nian mbak ini. Maaf eyke nggak bisa bantuin. Takut dandanan eyke rusak demplon deh. “ Bencongpun turut berpartispasi.

Kalau ketemu makhluk begini Evel langsung tersenyum kecut sambil baca ayat kursi.

“Aduh.. manis-manis kok gandeng sepeda, mending gandeng abang deh. “

“Emang saya truk gandeng bang!” Balas Evel sengit. (besambung)

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.